• Senin, 22 Desember 2025

Sampah Kedaluwarsa

Photo Author
- Senin, 22 Januari 2024 | 20:09 WIB
-
-

KE Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Bujangga. Hujan-hujan. Sudah terbayang bagaimana kondisi lapangan dan aromanya. Karenan sering ke sana. Akhir akrab dengan aroma yang dikeluhkan warga sekitar.

Memang benar. Jalan beton menuju TPA itu becek. Begitu pun sekitar pembuangannya. Separuh badan jalan dipenuhi sampah. Biasanya parkir di depan rumah daeng Nai sang bos, terpaksa parkirnya dekat rumah timbang.

Kendaraan besar dan armada motor, bergantian membuang sampahnya. Petugasnya tak peduli hujan-hujan. Mereka harus menuntaskan angkutan sampah yang kini jumlahnya mencapai 60 ton setiap harinya. Lumayan banyak. Angka itu bisa terus bertambah.

Saya jumpa sang bos. Hanya pakai sarung bertelanjang dada. Hampir semua warga yang terlibat dalam pengelolaan sampah, tak ada yang bermasker. Kata sang bos, sudah terbiasa. Sudah kebal. Bau sampah sudah tidak tercium lagi.

Tak lama, sang istri datang membawa kotak karton. Berisi macam-macam. Setelah saya cermati, rupanya makanan kering. Saya juga sempat berpapasan anak belasan tahun, membawa benda serupa. Biskuit dari berbagai merek dan kemasan.

Saya lalu bertanya-tanya. Untuk apa mereka mengumpulkan barang yang sudah dibuang. Apa mereka mau mengonsumsi lagi? Memang ada yang belum masuk masa kedaluwarsanya. Tapi, dia mengambil diantara tumpukan sampah.

Dulu, saya sering menyaksikan. Bagaimana salah satu agen memusnakan barangnya yang masuk kedaluwarsa. Disaksikan petugas kantor dan dibakar. Saya pikir itulah prosedur dalam penanganan barang makanan yang kedaluwarsa itu.

Lalu, bagaimana dengan makanan kedaluwarsa yang dibuang begitu saja di kawasan TPA. Ada banyak warga yang mengais-ngais di tumpukan makanan itu. Kira-kira kalau demikian situasinya, yang perlu disoroti siapa?

Saya duduk di teras rumah daeng Nai, sang bos itu. Di tempat kami sering minum kopi. Di antara tumpukan kemasan plastik yang dikumpulkannya. Katanya bisa dijual. Di antara barang-barang buangan yang masih bisa dimanfaatkan. Juga di antara kue kering yang masih dalam kemasan utuh. Biasanya kalau menemui Daeng Nai, saya bawakan pesanannya. Hanya tiga macam. Beras, kopi, dan rokok. Saya ke rumahnya Jumat lalu itu, tidak membawa apa-apa.

Tidak pernah dilakukan pemeriksaan kesehatan ya, daeng? Dia hanya senyum. Istrinya juga begitu. Sesungguhnya, melihat kondisi badan sang istri, nampaknya lagi tidak sehat. Memang, harusnya perlu dilakukan pemerikaan gratis kesehatan mereka. Mereka yang terlibat dalam pengelolaan sampah adalah pejuang yang perlu diperhatikan. Bahkan wajib diperhatikan kesehatannya.

Di teras rumahnya, tidak lagi bicara sampah. Sudah terlalu sering membahas itu. Sampah yang jumlahnya terus meningkat. Juga tidak lagi membahas, kapan pulang ke kampung halamannya di Jeneponto, Sulawesi Selatan. Dia hanya senyum-senyum. Dia juga kan punya hak cuti.

Tiba-tiba ia bicara politik. Banyak yang datang kemarin, kata daeng Nai. Dia sebutlah satu-satu, caleg yang pernah berkunjung ke rumahnya. Kunjungan per lima tahun. Terus, apa yang mereka harapkan, kata saya.

Ia mengungkapkan pengalamannya jadi kepala desa di kampungnya. Saya terpilih dua kali, tanpa jerih payah dan biaya yang besar, kata dia. Makanya, mereka yang minta dukungan suaranya bersama warga di TPA Bujangga itu, ia berbagi pengalamanlah.

Tak lama, ia masuk ke rumahnya dan sesaat setelah keluar membawa buku yang menjadi bacaan wajibnya setiap hari. Saya juga belajar politik dan berbagai aturan, kata dia sambil memperlihatkan buku yang diterbitkan Kemendagri.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

X