Bagi Aaliyah Adawiyyah, mahasiswa Indonesia asal Perumahan Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (Korpri) Griya Mutiara Indah, Kelurahan Sungai Parit, Kecamatan Penajam, Penajam Paser Utara (PPU), yang menempuh pendidikan di Shanxi Medical University (SXMU), Tiongkok, Ramadan tahun ini menghadirkan pengalaman unik dan berbeda.
DI negara berhaluan komunis terbesar di dunia itu, mahasiswa jurusan kedokteran tahun keempat itu menjalani ibadah puasa diwarnai dengan suka dan duka.
“Untuk saat ini di Tiongkok sedang musim semi. Waktu sahur jam 04.30 dan buka puasa pukul 19.00. Waktu puasa lebih lama di sini dibandingkan dengan Indonesia atau PPU, karena untuk saat ini kurang lebih 15 jam, sedang saat mendekati Lebaran bisa sampai 18 jam,” kata Aaliyah Adawiyyah yang akrab dipanggil Yayang itu berbagi kisah suka-duka berpuasa Ramadan di Negeri Tirai Bambu itu dengan Kaltim Post, Rabu (20/3).
Di Indonesia, panjang waktu puasa adalah rerata 13,23 jam. Karena itu, tantangan durasi waktu puasa yang panjang di Tiongkok itu dihadapi dengan penuh kesabaran dan tekad kuat oleh para mahasiswa muslim. Meskipun minoritas, kata dia, umat Islam di Tiongkok tetap merasakan atmosfer Ramadan yang penuh berkah. Masjid-masjid ramai dikunjungi, termasuk para mahasiswa muslim yang berbondong-bondong melaksanakan salat tarawih. Bagi mereka yang tinggal jauh dari masjid, tarawih berjamaah di salah satu kamar apartemen menjadi solusi untuk tetap merasakan kekhusyukan Ramadan.
“Untuk tarawihnya kami tetap bersama-sama melakukan secara berjamaah di salah satu kamar apartemen. Setiap harinya saya tidak bisa ikut tarawih di masjid karena jarak tempuh ke masjid cukup lama sekitar 2 jam. Sedang waktu kembalinya nanti gerbang apartemen tempat tinggal saya sudah ditutup. Karena itu, kami seluruh mahasiswa yang muslim rata-rata tarawihnya di salah satu kamar,” ujarnya.
Dia mengatakan, berada di lingkungan dengan budaya dan kebiasaan yang berbeda, para mahasiswa Indonesia harus beradaptasi. Salah satunya dalam hal makanan. Memasak sendiri hidangan berbuka jadi pilihan agar lebih terjamin kehalalannya. Hal ini tentu berbeda dengan di Indonesia, di mana tradisi buka puasa bersama keluarga adalah momen yang dirindukan. “Yang dikangenin saat bulan puasa seperti saat ini bagi Yayang adalah saat bantu-bantu mama masak untuk menyiapkan menu berbuka. Kalau saat ini jauh dari orangtua, tak hanya menyiapkan, juga memikirkan dulu mau buka pakai menu apa?” tuturnya.
Dia mengungkapkan, menjalani Ramadan di negeri orang mengajarkan banyak hal. Kesabaran, kedisiplinan, dan rasa syukur semakin terasah di tengah keterbatasan dan perbedaan budaya. Meski diwarnai berbagai tantangan, Ramadan di Tiongkok jadi pengalaman berharga yang tak terlupakan. Di tanah rantau, mahasiswa muslim dari Indonesia menanti berkah Ramadan dengan penuh harap dan optimisme, seraya memanjatkan doa agar dapat kembali berkumpul bersama keluarga di Tanah Air pada momen Idulfitri nanti. (far/k16)
ARI ARIEF