Pengamat ekonomi dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Purwadi menyebut, terjadinya kelangkaan dan mahalnya elpiji subsidi di masyarakat merupakan persoalan klasik yang tidak pernah tuntas diperbaiki Pertamina dan pemerintah.
“Ini ’lagu lama’ yang tidak pernah dievaluasi. Setiap tahun atau momen tertentu pasti terjadi. Seperti di Samarinda jelang Iduladha kali ini. Lalu apa Pertamina dan pemerintah tidak bercermin dari tahun sebelumnya?” ungkap Purwadi, Sabtu (15/6).
Menurutnya, persoalan elpiji 3 kilogram tidak pernah ditangani secara serius. Jika memang serius, seharusnya sudah ada semacam alat deteksi dini. Sebuah alarm yang bisa mengingatkan Pertamina dan pemerintah untuk mengantisipasi kelangkaan.
“Masa kejadian sudah berulang kali, namun pemerintah enggak punya alat deteksi dini. Bagaimana bertindak ketika menghadapi lonjakan permintaan,” sambungnya.
Salah satu cara paling efektif adalah sistem distribusi berupa pendataan by name by address yang berhak membeli. Database seharusnya sudah ada di dinas terkait. Jika merujuk ke pusat pun, data masyarakat yang berhak menerima sudah tersedia. Sehingga distribusinya bisa tepat sasaran.
“Semua sekarang serba digital. Bisa diakses. Kalau serius seharusnya sudah ada sistem agar distribusi ini tepat sasaran. Jangan cari kambing hitam. Alasan tanggal merah. Tegakkan aturan kalau memang ada penyimpangan,” sebutnya.
Diketahui, sejak awal Juni hingga jelang Iduladha, masyarakat Samarinda disibukkan dengan sulitnya mencari gas elpiji 3 kg. Antrean mengular menjadi pemandangan di sejumlah titik dan pangkalan. Bahkan, sejumlah warga Samarinda yang terpaksa beralih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Karena tidak hanya langka, harganya juga mahal. Bahkan di tingkat pengecer mencapai Rp 50 ribu.
Kondisi itu pun memaksa Pemkot Samarinda melaksanakan rapat darurat pekan lalu. Pemkot pun mengambil langkah bakal menerbitkan kartu penjualan elpiji 3 kilogram kepada warga penerima manfaat sebagai solusi memastikan distribusi elpiji melon itu tepat sasaran. (rom)