Oleh: Faroq Zamzami
(Jurnalis Prokal.co)
PROKAL.CO, BALIKPAPAN-Pada Rabu (10/2/2024), saya bertandang ke Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Mujahidin, Kota Balikpapan. Ponpesnya Muhammadiyah. Lokasinya di Jalan Soekarno-Hatta, Km 10, Kecamatan Balikpapan Utara.
Dari pinggir jalan utama masuk sekira 100 meter lebih. Masjid, asrama putra dan ruang belajar serta fasilitas lain ada di sisi kanan jalan. Di sisi kiri, asrama putri, koperasi, dan fasilitas pendukung lainnya.
Rabu itu adalah hari kedatangan santri putra baru ke ponpes. Jenjang SMP dan SMA. Santri putri baru, datang duluan sehari sebelumnya. Kedatangan santri baru sengaja dipisah. Agar tak menumpuk pada satu hari.
Saat kedatangan santri putra baru itu saja pelataran parkir di depan gedung utama ponpes penuh. Suasana ramai. Tahun ini ponpes kedatangan 416 santri dan santriwati untuk jenjang SMP dan SMA.
“Kalau digabung waktu kedatangan santri, padat ini enggak bisa jalan,” kata salah satu ustazah. Sejak pukul 08.00 Wita, orang tua santri hilir mudik mengantarkan anak-anak mereka.
Saat akan masuk kawasan ponpes, di depan pos penjagaan, pengunjung tak hanya disambut petugas keamanan. Ada juga guru. Yang ikut serta mengatur kedatangan para santri.
Semua guru turun tangan hari itu. Guru putri alias ustazah kebagian tugas di meja registrasi di gedung utama. Juga di meja pendataan di teras masjid untuk memberikan id card masuk ke asrama kepada orangtua santri. Ada juga yang berjaga di tenda konsumsi melayani para tamu yang ingin menyicipi hidangan yang disediakan.
Sementara para ustaz, hampir semua, dari yang senior hingga yang muda, kecuali yang sedang tugas ke luar, ikut mengatur kedatangan keluarga yang mengantar anak mereka untuk menuntut ilmu.
Di pintu masuk utama ke ponpes pengunjung akan disambut Pak Rimun. Beliau guru fisika SMA Muhammadiyah 2. Sekolah ini tergabung dalam lingkungan ponpes. Sebelumnya Pak Rimun pernah tercatat sebagai kepala SMA Muhammadiyah 2.
Pak Rimun menyapa tiap orangtua yang datang dengan ramah. Kemudian mempersilakan mereka memarkirkan kendaraan, dan menunjukan gedung utama yang merupakan lokasi registrasi.
Sekira lima meter dari lokasi Pak Rimun ada Pak Akib. Beliau guru Kemuhammadiyahan dan Pendidikan Agama Islam (PAI). Pagi itu, Pak Akib juga ikut mengarahkan orangtua yang membawa kendaraan ke lokasi parkir yang masih kosong di depan gedung utama ponpes.
Tak jauh ada Pak Hendro. Beliau juga guru PAI dan fikih. Pak Hendro juga mengatur parkir, mengarahkan orang tua santri yang datang dengan mobil ke lokasi parkiran. Tampilan Pak Hendro saat itu sangat sederhana. Seperti guru-guru lain umumnya di ponpes itu.
Beliau mengenakan baju kaus berkerah, celana bahan dan sandal khas bapak-bapak. Tapi siapa yang menyangka, Pak Hendro adalah ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Balikpapan masa jabatan 2023-2027.
Meski jabatannya mentereng di Muhammadiyah tingkat kota, dia tak sungkan membantu aktivitas pondok saat itu, mengarahkan kendaraan di lokasi parkir. Berdiri di bawah cuaca Kota Minyak yang pagi itu masih hangat dan lumayan panas saat siang.
Saya saat itu juga bertemu Pak Mas’ud. Beliau pimpinan ponpes. Beliau menyapa dengan ramah tamu yang datang. Pak Mas’ud masih seperti dulu, saat saya mengenyam pendidikan SMP di pondok itu dari pertengahan hingga akhir 1990-an.
Sosok pemimpin yang tenang. Sederhana. Bicaranya tertata. Dan teduh. Beliau menerima sodoran tangan saya untuk salaman, lantas menanyakan kabar dan pekerjaan. Beberapa menit kami berbincang, karena beliau memberi beberapa pertanyaan seputar pekerjaan saya di dunia jurnalistik.
Kami duduk di samping pos sekuriti. Saat itu ada juga guru lain, Pak Jamil yang mengajar bahasa Arab, yang ikut berbincang-bincang. Mereka, para pendidik yang sudah puluhan tahun mengabdikan diri di ponpes ini nyaris tak ada perubahan dalam kesederhanaan. Paling yang berubah adalah raut wajah dan rambut atau janggut karena usia.
Di tengah kemajuan ponpes yang begitu luar biasa, bangunan kelas yang bertambah, masjid yang semakin megah, asrama yang semakin banyak jumlahnya, kesederhanaan para guru tetap sama seperti dulu.
Padahal ponpesnya semakin maju dan terkenal. Melahirkan banyak santri-santriwati berprestasi. Dan tercatat sebagai ponpes terpadu terbesar di Kaltim.
Dulu ketika saya masih mengenyam pendidikan di sana, kita memang akan mendapati semua guru memberikan contoh langsung dalam kehidupan setiap hari. Karena santri dan guru hidup berdampingan. Rumah guru jaraknya hanya beberapa meter dari asrama santri. Sekarang pun begitu.
Sejak dulu, guru dan santri tak hanya bertemu di kelas. Kerap di lapangan bola voli, lapangan sepak bola, atau di dapur saat waktu makan. Di masjid sudah pasti. Saat mondok di ponpes Muhammadiyah ini dulu, saya tak pernah mencium tangan ustaz karena memang tak umum dilakukan. Dan tak secara khusus diajarkan.
Tapi kami dengan penuh kesadaran sangat menghormati para ustaz. Kami memanggil mereka dulu pak. Semua. Mulai guru muda hingga pimpinan pondok. Jarang yang memanggil ustaz. Nyaris tak ada yang memanggil kiai.
Saat mondok dulu, saya tak pernah sampai menunduk betul atau sampai rukuk ketika lewat di depan para ustaz. Paling hanya menurunkan kepala. Umumnya santri juga tak ada yang begitu. Tapi kami dengan penuh kesadaran sangat menghargai para ustaz sebagai orang yang berilmu. Berilmu dan memberi contoh. Berilmu dan sederhana.
Misalnya, dulu biasa setiap selesai salat Subuh, setelah ceramah singkat dari pimpinan pondok saat itu almarhum Pak Rusdiman, atau kegiatan rutin lainya seperti mengasah bahasa Arab dan Inggris, atau praktik komputer, sepulang dari masjid menuju kamar, kadang-kadang anak-anak akan gotong-royong membawa satu pavingblock.
Material bangunan yang baru datang itu diletakkan di depan masjid. Kemudian para santri dan ustaz yang memindah ke bawah, ke lokasi pembangunan lapangan.
O iya, kondisi geografis ponpes ini menurun. Masjid, gedung utama, dan kelas ada di bagian atas. Asrama, dapur, hingga lapangan ada di bagian bawah.
Jadi dulu, kalau ada material bangunan yang datang hanya diantar sampai atas. Warga ponpes yang membawa ke lokasi pembangunan di bawah. Dicicil. Tidak sekaligus.
Biasa pas ada material datang, dibawa sekuatnya saat pulang dari masjid ke asrama. Biasanya setelah salat Subuh. Hitung-hitung sekalian olahraga pagi. Seperti pavingblock untuk lapangan bola voli saat itu.
Satu santri bawa satu pavingblock. Para ustaznya pun begitu. Tak ada pengecualian. Mulai ustaz senior sampai yang muda, sama, memberi contoh.
Tak hanya pavingblock. Terkadang juga batu bata. Sama, kami akan membawanya turun ke lokasi pembangunan. Satu per orang. Atau dua. Atau berapa sekuatnya. Semua mengerjakan.
Sesekali juga kayu bakar. Sama, kayu bakar yang menumpuk di dekat masjid akan dibawa turun ke dapur, di dekat asrama, sebagai bahan bakar untuk memasak air. Sama. Santri dan guru bawa satu satu atau dua atau berapa yang mereka mampu.
Itu dulu. Sekarang santri hanya fokus belajar. Seiring dengan kemajuan ponpes. Ponpes memang semakin maju. Namun kebiasaan dan kesederhanaan penghuninya khususnya para guru tak berubah.
Bangunan terus berdiri di kawasan pondok, tapi kesederhanaan tak tergeser oleh tembok-tembok.
Kesederhanaan ini sangat penting sekarang, jadi contoh para santri yang sedang menuntut ilmu di sana, di tengah gempuran gaya hidup kini yang banyak hedon, dan pamer kekayaan di media sosial (medsos). (far)