• Senin, 22 Desember 2025

Pendidikan di Kaltim, Ketimpangan Masih Terjadi, Anak Pedalaman Tertinggal

Photo Author
- Jumat, 25 Juli 2025 | 14:35 WIB
ilustrasi pendidikan
ilustrasi pendidikan

Meskipun Kalimantan Timur menjadi salah satu provinsi kaya dengan sumber daya alam dan kini ditunjuk sebagai lokasi pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), ketimpangan dalam sektor pendidikan masih menjadi persoalan serius yang belum tuntas. Di kota-kota besar seperti Samarinda, Balikpapan, maupun Bontang, akses terhadap sekolah berkualitas relatif mudah. Sekolah berakreditasi A, guru-guru tersertifikasi, hingga fasilitas digital mulai tumbuh dengan baik.

Namun, berbeda cerita di daerah pedalaman seperti Mahakam Ulu, Kutai Barat, atau sebagian wilayah Kutai Timur. Di sana, pendidikan masih jauh dari kata ideal. Banyak anak-anak harus menempuh perjalanan panjang hanya untuk bisa mengenyam pendidikan dasar. Bahkan ada yang harus menyebrangi sungai dengan perahu kecil, berjalan kaki berjam-jam di jalur yang licin dan berlumpur, demi bisa sampai ke sekolah. Situasi ini diperparah saat musim hujan, ketika jalan rusak dan akses sungai terputus.

Tak hanya soal akses fisik, kualitas penyelenggaraan pendidikan juga menghadapi tantangan besar. Minimnya jumlah guru, rendahnya kualitas fasilitas sekolah, hingga keterbatasan teknologi menjadi kendala utama. Dalam laporan terbaru Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalimantan Timur, tercatat masih ada kekurangan ratusan tenaga pengajar, terutama untuk jenjang SMP dan SMA. Banyak guru yang enggan ditempatkan di daerah terpencil karena faktor infrastruktur, keamanan, serta jarak dari pusat pelayanan dasar seperti rumah sakit atau pasar.

Kondisi fisik sekolah di pedalaman pun memperihatinkan. Tak sedikit sekolah yang masih berdinding kayu, tanpa perpustakaan, laboratorium, bahkan jaringan listrik yang stabil. Internet pun jadi barang mewah—padahal saat ini hampir semua materi pelajaran berbasis digital. Anak-anak di daerah ini kesulitan mengikuti perkembangan teknologi pendidikan yang tengah berkembang pesat di kota. Hal ini menciptakan jurang ketimpangan digital yang makin dalam.

Pemerintah daerah sebenarnya sudah meluncurkan sejumlah program strategis, seperti Beasiswa Kaltim Tuntas, Relawan Guru Garis Depan, hingga pembangunan Sarana Teknologi Pendidikan (STP) di beberapa titik terpencil. Namun, implementasi di lapangan kerap menghadapi hambatan klasik: geografis yang ekstrem, keterbatasan logistik, dan minimnya koordinasi antar instansi. Belum lagi tantangan dalam hal pengawasan, transparansi, dan kesinambungan program jangka panjang.

Dampak dari ketimpangan pendidikan ini tidak main-main. Anak-anak dari daerah tertinggal memiliki peluang yang lebih kecil untuk melanjutkan pendidikan tinggi, mendapatkan pekerjaan yang layak, bahkan bersaing di dunia kerja nasional. Dalam jangka panjang, ini berpotensi memperkuat siklus kemiskinan struktural di daerah tersebut. Pendidikan yang seharusnya menjadi alat mobilitas sosial, justru menjadi cermin dari ketimpangan pembangunan antarwilayah.

Di tengah gegap gempita proyek Ibu Kota Nusantara yang menjanjikan kemajuan dan pemerataan, suara anak-anak dari pedalaman Kaltim justru masih menunggu janji lama: bahwa pendidikan adalah hak semua orang. Bahwa pembangunan bukan hanya soal gedung tinggi dan jalan tol, tapi juga soal papan tulis di ruang kelas, guru yang hadir setiap hari, dan buku-buku yang cukup di rak sekolah

Pemerataan pendidikan di Kalimantan Timur seharusnya menjadi agenda utama, bukan pelengkap. Sebab tanpa pendidikan yang merata, mimpi besar membangun peradaban baru di IKN bisa jadi hanya akan dinikmati oleh mereka yang sejak awal sudah tinggal dekat dengan kekuasaan—sementara anak-anak dari pedalaman tetap berjalan kaki dalam sunyi, menyusuri jalan becek, membawa cita-cita yang tak pernah sampai ke pusat perhatian. (Arsandha Agadistria Putri)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

X