PENAJAM – Lonjakan harga sejumlah komoditas pangan di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) memicu sorotan tajam dari Ketua Komisi II DPRD PPU, Thohiron. Ia menilai, lemahnya sistem pengelolaan pertanian hortikultura menjadi penyebab utama naiknya harga tomat hingga 68 persen dan cabai (lombok) sebesar 39 persen.
Thohiron menegaskan, diperlukan keterlibatan lembaga penelitian dan tim ahli guna merancang strategi pertanian yang adaptif terhadap cuaca dan musim tanam, terutama untuk sektor hortikultura yang rentan fluktuasi.
"Metode pengembangan pertanian hortikultura masih belum tepat. Dinas terkait seharusnya sudah mampu memetakan kapan waktu terbaik menanam tomat atau lombok. Tapi kenyataannya belum ada langkah konkret," ujar Thohiron kepada awak media, Senin (1/8/2025).
Ia menyebut, selama ini pendekatan yang dilakukan Dinas Pertanian masih bersifat konvensional dan kurang berbasis data ilmiah. Padahal, menurutnya, keberhasilan sektor ini sangat ditentukan oleh ketepatan analisis iklim, pola tanam, hingga metode budidaya berkelanjutan.
"Kita tidak bisa lagi bertumpu pada cara lama. Pemerintah harus berani menggandeng lembaga riset atau konsultan pertanian yang mumpuni. Ini bukan soal coba-coba, tapi soal ketahanan pangan," tegasnya.
Dalam konteks yang lebih luas, Thohiron juga menyinggung peran strategis PPU yang digadang-gadang sebagai salah satu lumbung pangan Kalimantan Timur, apalagi di tengah geliat pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Namun, tanpa hilirisasi yang memadai, menurutnya, geliat pertanian hanya akan stagnan di hulu produksi.
"Kalau tidak ada hilirisasi, petani hanya akan jadi korban permainan harga pasar. Siapa yang mau tanam kalau hasil panennya tidak jelas siapa yang menampung dan berapa harganya?" cetusnya.
Ia mendorong Pemkab PPU untuk segera menyusun peta jalan hilirisasi pertanian, mencakup pengolahan hasil tani, distribusi, hingga pemasaran yang terintegrasi. Menurutnya, jaminan harga dan kepastian pasar akan membuat petani lebih tenang dan produktif.
"Petani itu akan adem ayem jika tahu hasil tanamannya dihargai dengan layak. Bukan sekadar tanam, panen, lalu dijual murah karena tidak ada yang menyerap," tutup Thohiron.