SAMARINDA – Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Fenomena ini tidak sekadar masalah moral, melainkan juga persoalan sosial dan struktural yang membutuhkan intervensi sistemik, baik dari pemerintah pusat maupun daerah.
Kasus kekerasan berbasis gender sering kali digambarkan sebagai fenomena “gunung es”. Yang tampak di permukaan hanya sebagian kecil dari kenyataan yang sesungguhnya terjadi. Banyak korban enggan melapor karena faktor budaya, termasuk rasa malu dan tekanan sosial.
“Karena itu, penting bagi kita membangun sistem yang lebih baik agar kasus-kasus seperti ini bisa terdeteksi lebih awal dan ditangani secara efektif,” ujar Sekretaris Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Andi Baso Indra, saat membuka webinar bertema Optimalisasi Peran Pemerintah Daerah dalam Memperkuat Deteksi Dini Tindak Kriminalitas serta Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, yang digelar secara virtual, Selasa (4/11/2025).
Andi Baso memaparkan, berdasarkan data Komnas Perempuan, pada tahun 2023 tercatat 289.111 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sementara itu, data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) tahun 2024 menunjukkan bahwa 61,1 persen kekerasan terjadi di lingkungan rumah tangga, 1,36 persendi tempat kerja, 5,96 persen di sekolah, 10,3 persen di fasilitas umum, dan sisanya di lokasi lain.
“Yang menarik, sekitar 70 persen kasus kekerasan terhadap perempuan dipicu faktor ekonomi, 15 persen karena faktor budaya, 10 persen akibat perselingkuhan, dan 5 persen karena kurangnya komunikasi dalam keluarga,” jelasnya.
Ia juga menyoroti tren peningkatan kekerasan terhadap anak. Berdasarkan data yang dihimpun, pada 2022 terdapat 4.683 kasus kekerasan terhadap anak, sementara pada 2023 tercatat 1.800 kasus. Jumlah ini diperkirakan terus meningkat pada 2024.
Andi Baso menekankan pentingnya penguatan sistem data gender dan anak di setiap provinsi dan kabupaten/kota.
“Pengumpulan dan pengolahan data yang akurat sangat diperlukan. Perbedaan atau ketidaklengkapan data dapat memengaruhi penyusunan kebijakan, baik di tingkat pusat maupun daerah,” tegasnya.
Ia menambahkan, pemerintah daerah perlu memperkuat fungsi deteksi dini terhadap potensi kekerasan, kejahatan, dan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Setiap daerah bersama aparat keamanan, lembaga layanan, dan masyarakat diharapkan memiliki mekanisme pelaporan serta respon cepat.
“Perlindungan perempuan dan anak bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga amanah moral. Pemerintah daerah harus menjadi garda terdepan dalam menciptakan ruang publik yang aman, ramah, dan bebas kekerasan,” pungkasnya. (adv/diskominfo/Prb/ty)