Oleh: Muhammas Yuga, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
Kebijakan pemotongan dana bagi hasil daerah yang diterapkan pemerintah pusat dalam beberapa tahun terakhir telah menimbulkan gelombang dampak yang meluas hingga ke berbagai sektor pembangunan daerah. Namun, ada satu aspek krusial yang luput dari perhatian publik dan para pengambil kebijakan, yakni dampaknya terhadap ekosistem pers lokal dan kesejahteraan wartawan, khususnya mereka yang bekerja dalam ranah advertorial dan publikasi institusional. Pemotongan anggaran ini bukan sekadar persoalan teknis keuangan negara, melainkan telah menyentuh hak-hak fundamental insan pers yang selama ini menjadi jembatan informasi antara pemerintah daerah dan masyarakat.
Dana bagi hasil merupakan salah satu komponen vital dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang menjadi tulang punggung pembiayaan berbagai program pembangunan dan layanan publik di tingkat lokal. Dana ini berasal dari bagian daerah atas penerimaan pajak dan sumber daya alam yang dikelola pemerintah pusat. Ketika terjadi pemangkasan terhadap dana bagi hasil, pemerintah daerah menghadapi tekanan fiskal yang memaksa mereka melakukan efisiensi anggaran secara menyeluruh. Dalam praktiknya, pos-pos yang dianggap tidak langsung menyentuh pelayanan dasar masyarakat menjadi sasaran pertama pemotongan, termasuk di dalamnya alokasi untuk kegiatan kehumasan, publikasi, dan sosialisasi program pemerintah.
Pemotongan pada pos-pos kehumasan ini secara langsung menghantam wartawan advertorial yang menggantungkan sumber pendapatan mereka dari kerja sama dengan institusi pemerintah daerah. Wartawan advertorial berada dalam posisi yang unik dalam ekosistem media Indonesia. Mereka bertugas mempublikasikan berbagai program, kebijakan, dan pencapaian pemerintah daerah melalui konten yang bersifat informatif dan promosi. Pekerjaan ini mencakup peliputan kegiatan dinas, penulisan berita institusional, produksi konten multimedia, hingga pengelolaan media sosial untuk kepentingan publikasi pemerintah.
Meskipun kerap mendapat stigma negatif dan dipandang sebelah mata dalam lingkaran jurnalisme, peran wartawan advertorial sesungguhnya sangat penting dalam memastikan informasi kebijakan publik sampai ke masyarakat luas.
Ketika anggaran daerah mengalami penyusutan akibat pemangkasan dana bagi hasil, kontrak kerja wartawan advertorial yang umumnya bersifat tidak permanen atau berbasis proyek menjadi yang pertama kali terancam. Banyak pemerintah daerah terpaksa mengurangi jumlah kontrak publikasi, menunda pembayaran honor, atau bahkan menghentikan sama sekali kerja sama dengan wartawan dan media lokal. Kondisi ini menciptakan ketidakpastian ekonomi yang serius bagi wartawan advertorial yang sebagian besar tidak memiliki jaminan sosial atau penghasilan tetap dari media tempat mereka bernaung.
Perlu dipahami bahwa wartawan advertorial memiliki hak-hak yang sama dengan pekerja lainnya, sebagaimana dijamin dalam peraturan ketenagakerjaan dan regulasi tentang kebebasan pers. Mereka berhak mendapatkan imbalan yang layak dan tepat waktu atas jasa profesional yang mereka berikan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa hak-hak ini sering terabaikan, terutama ketika terjadi krisis anggaran. Tidak jarang wartawan advertorial harus menunggu berbulan-bulan untuk menerima pembayaran yang telah disepakati, atau bahkan tidak menerima honor sama sekali karena proyek tiba-tiba dibatalkan akibat perubahan prioritas anggaran.
Dampak dari situasi ini tidak berhenti pada level individual wartawan, melainkan merembet ke institusi media lokal secara keseluruhan. Banyak media lokal, terutama yang berskala kecil dan menengah, sangat bergantung pada pemasukan dari advertorial pemerintah untuk menopang operasional mereka. Ketika sumber pendapatan ini mengering, media-media tersebut menghadapi dilema eksistensial. Mereka terpaksa mengurangi jumlah karyawan, menurunkan kualitas produksi konten, atau dalam kasus terburuk, menghentikan operasional mereka sepenuhnya. Fenomena ini sangat berbahaya bagi kesehatan demokrasi lokal karena masyarakat kehilangan akses terhadap informasi dan kehilangan wadah untuk menyuarakan aspirasi mereka.
Lebih jauh lagi, tekanan ekonomi yang dialami wartawan advertorial berpotensi mendorong praktik-praktik yang tidak sehat dalam ekosistem media. Ketika pendapatan dari jalur resmi tidak mencukupi, sebagian wartawan mungkin tergoda untuk mencari sumber pendapatan alternatif yang meragukan, seperti meminta imbalan langsung dari narasumber, melakukan pemerasan terselubung, atau terlibat dalam transaksi yang mengaburkan batas antara fungsi jurnalistik dan kepentingan bisnis pribadi. Praktik-praktik semacam ini tentu saja merusak kredibilitas pers secara keseluruhan dan mengikis kepercayaan publik terhadap media.
Persoalan ini juga mencerminkan kontradiksi dalam kebijakan pemerintah terhadap pers. Di satu sisi, pemerintah mengklaim mendukung kebebasan pers dan kesejahteraan insan media sebagai pilar demokrasi. Namun di sisi lain, kebijakan fiskal yang diambil justru mengancam keberlangsungan hidup wartawan dan media lokal. Padahal, pers lokal memiliki peran strategis dalam mengawal akuntabilitas pemerintah daerah, menyebarkan informasi kepentingan publik, dan memberdayakan partisipasi masyarakat dalam pembangunan lokal.
Dalam konteks ini, pemerintah perlu menyadari bahwa investasi pada ekosistem informasi lokal adalah investasi pada kualitas demokrasi dan tata kelola pemerintahan. Alokasi anggaran untuk publikasi kepentingan publik seharusnya tidak dipandang sebagai pemborosan, melainkan sebagai kebutuhan esensial untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas. Diperlukan mekanisme perlindungan khusus yang memastikan bahwa meskipun terjadi pemangkasan anggaran, hak-hak wartawan advertorial tetap terjamin. Hal ini bisa diwujudkan melalui penetapan standar minimal alokasi anggaran untuk publikasi, skema pembayaran yang lebih tertib dan tepat waktu, serta kontrak kerja yang lebih jelas dan adil.
Institusi pemerintah daerah juga perlu mengubah paradigma mereka dalam bekerja sama dengan wartawan dan media lokal. Wartawan advertorial harus diperlakukan sebagai mitra profesional, bukan sekadar penyedia jasa yang bisa diperlakukan semena-mena. Kontrak kerja harus disusun dengan jelas, mencakup ruang lingkup pekerjaan, tenggat waktu, dan besaran honor yang transparan. Pembayaran harus dilakukan tepat waktu sesuai kesepakatan, tanpa alasan birokratis yang berbelit-belit. Profesionalitas dalam hubungan kerja ini akan menciptakan ekosistem yang sehat bagi kedua belah pihak.
Selain itu, perlu ada dialog terbuka antara pemerintah, organisasi wartawan, dan komunitas media untuk mencari solusi berkelanjutan atas persoalan ini. Asosiasi wartawan dan serikat pekerja media harus lebih aktif memperjuangkan hak-hak anggotanya, termasuk wartawan advertorial yang selama ini sering terpinggirkan. Mereka perlu mendorong regulasi yang lebih kuat untuk melindungi kesejahteraan wartawan dan memastikan bahwa kebijakan fiskal pemerintah tidak merugikan ekosistem pers lokal.
Pemotongan dana bagi hasil daerah mungkin adalah keniscayaan dalam kondisi ekonomi dan fiskal negara saat ini. Namun, dampaknya terhadap pers lokal dan kesejahteraan wartawan advertorial tidak boleh diabaikan atau dianggap sebagai korban yang tak terelakkan. Wartawan advertorial, sebagaimana wartawan lainnya, memiliki hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan perlindungan atas profesi mereka. Tanpa perhatian serius dan solusi konkret terhadap persoalan ini, kita berisiko kehilangan lapisan penting dari ekosistem informasi yang selama ini menjadi penghubung vital antara pemerintah dan rakyat di tingkat lokal, sekaligus melemahkan fondasi demokrasi kita dari akar rumput.