kalimantan-timur

Kooptasi Mahkamah Konstitusi

Indra Zakaria
Jumat, 15 Maret 2024 | 11:14 WIB
Herdiansyah Hamzah

 

Herdiansyah Hamzah

Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

 

SAAT ini, Mahkamah Konstitusi (MK) sedang mengalami kondisi terburuk sepanjang sejarah sejak ia lahir dari rahim reformasi. MK tidak hanya sedang berusaha dipengaruhi, diganggu independensinya, ataupun dipolitisasi sesuai dengan kepentingan para elite politik. Tapi MK juga sedang berusaha dikooptasi, diambil alih dengan cara menempatkan orang-orang yang sesuai dengan selera kekuasaan.

Mereka yang tidak sejalan dengan jalan pikiran kekuasaan, akan dicopot dan disingkirkan dengan berbagai cara. Bukan hanya sekali dua kali. Namun, upaya kooptasi ini dilakukan berkali-kali demi menyingkirkan mereka yang dianggap menghambat kepentingan kekuasaan. Parahnya, operasi penyingkiran ini dilakukan dengan cara-cara kotor! Dalam berbagai macam literatur, kooptasi umumnya dimaknai sebagai upaya untuk mengambil alih kendali suatu organisasi.

Merriam Webster mendefinisikan kooptasi sebagai pengambilalihan atau perampasan sesuatu untuk tujuan baru atau berbeda. Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengartikan kooptasi sebagai proses pemilihan anggota baru dari suatu badan musyawarah oleh anggota yang telah ada. Menurut Philip Selznick, kooptasi adalah proses menyerap unsur-unsur baru ke dalam kepemimpinan atau struktur penentu kebijakan suatu organisasi.

Jadi sederhananya, kooptasi merupakan upaya untuk mengambil alih suatu organisasi dengan menempatkan orang-orang tertentu dalam rangka mengendalikan kebijakan organisasi sepenuhnya.

 

MODEL KOOPTASI

 

Secara garis besar, setidaknya terdapat tiga bentuk kooptasi terhadap MK yang terjadi selama ini. Pertama, permainan usia. Ketentuan mengenai syarat usia hakim MK mengalami perubahan berkali-kali, bahkan dilakukan dalam kurun waktu yang relatif saling berdekatan. Sebelumnya, syarat usia hakim MK diatur sekurang-kurangnya 40 tahun (2003). Kemudian berubah menjadi paling rendah 47 tahun dan paling tinggi 65 tahun (2011). Dan kembali diubah menjadi paling rendah 55 tahun (2020).

Belum cukup tiga tahun, perubahan usia kembali diusulkan menjadi paling rendah 60 tahun dalam rencana revisi UU MK. Kita tidak menemukan penalaran hukum yang wajar (ratio legis) terhadap usulan tersebut. Menunjukkan betapa syahwat politik para pembentuk undang-undang (DPR dan pemerintah) lebih dominan dibanding penalaran hukumnya. Ini jelas bertujuan untuk menyasar hakim-hakim MK yang berusia di bawah 60 tahun, terutama yang selama ini dianggap sulit didikte dan dikendalikan oleh kekuasaan.

Kedua, mengganti hakim di tengah masa jabatan (recall). Ini terjadi dalam kasus pergantian hakim Aswanto. Salah satu peristiwa langka dimana hakim ditarik oleh lembaga pengusulnya. Mungkin satu-satunya di dunia. Alasannya-pun tidak masuk akal, hanya karena Aswanto termasuk hakim yang membatalkan UU Cipta Kerja. Oleh karena itu dianggap tidak sejalan dengan DPR dalam mengawal produk legislasi-nya. Ketiga, menempatkan orang-orang tertentu yang sejalan dengan jalan pikiran kekuasaan (placement).

Sebagai contoh, keterpilihan Asrul Sani menjadi hakim MK yang menggantikan Wahiduddin Adams, menegaskan bentuk kooptasi DPR terhadap MK. Sebab proses seleksi yang dilakukan DPR cenderung terburu-buru, tidak transparan, non-partisipatif, dan mengandung benturan kepentingan, mengingat Asrul Sani sendiri adalah bagian dari DPR, yang notabene punya kepentingan langsung terhadap MK.

Halaman:

Tags

Terkini