MELAWAN KOOPTASI
Kooptasi terhadap MK, tentu saja harus kita lawan. Sebab bersikap diam, justru semakin meruntuhkan muruah dan martabat lembaga anak kandung reformasi ini. Upaya-upaya kekuasaan untuk mengendalikan MK, harus mendapatkan penolakan secara masif dan luas dari publik, terutama dari kelompok masyarakat sipil. Termasuk dari para kalangan akademisi dan para scholars yang peduli bukan hanya terhadap MK, tetapi juga terhadap perjuangan hak-hak konstitusional kita sebagai warga negara.
Salah satu tugas mendesak kita adalah melancarkan penolakan terhadap upaya perubahan kembali terhadap UU MK yang sempat sedang digulirkan oleh DPR dan pemerintah. Publik dengan mudah dapat menebak motif di balik rencana perubahan UU MK tersebut, yakni kepentingan untuk mengamankan hasil Pemilu 2024, di mana MK akan bertindak sebagai pengadilnya. Dan rencana perubahan UU MK ini bertujuan untuk memastikan agar hakim-hakim MK tunduk dan selaras dengan kehendak kekuasaan. Usulan perubahan ini tentu akan makin memperkuat kooptasi terhadap MK.
Publik tentu menghendaki perubahan UU MK, tapi bukan perubahan yang justru semakin memperkuat bentuk kooptasi kekuasaan terhadap MK. Penolakan terhadap perubahan UU MK ini, setidaknya didasari oleh tiga argumentasi pokok. Pertama, DPR dan Pemerintah, tidak boleh mengubah UU MK, termasuk mengenai batas usia hakim MK tanpa alasan yang rasional, bertentangan dengan moralitas, non-partisipatif, intorable, dan sewenang-wenang (willekeur).
Kedua, jikalau pun revisi UU MK tetap dipaksakan, maka norma di dalamnya tidak boleh diberlakukan terhadap hakim-hakim MK yang sedang menjabat sekarang. Ini ditegaskan MK dalam ratio decidendi atau pertimbangan putusan perkara nomor 81/PUU-XXI/2023 yang menyatakan bahwa, “bilamana pembentuk undang-undang berkehendak untuk mengubah persyaratan, maka perubahan tersebut haruslah diberlakukan bagi Hakim Konstitusi yang diangkat setelah undang-undang tersebut diubah”.
Ketiga, menolak istilah “persetujuan lembaga pengusul” dalam usulan perubahan UU MK. Hal ini justru menebalkan ruang intervensi dan kooptasi kekuasaan terhadap MK. (riz/k8)