kalimantan-timur

Belajar Program Makan Siang Bergizi dari Jepang yang Sudah Dimulai Sejak Ratusan Tahun Lalu  

Selasa, 4 Februari 2025 | 11:57 WIB
Faroq Zamzami

Profesor Naomi mengkaji tentang makan siang, nutrisi, kandungan dalam makanan, hingga soal kesehatan.

Dalam literatur yang dibawakannya, makan siang di sekolah tak sekadar mengenyangkan perut. Lebih dari itu.

 Baca Juga: Sempat Diundur, Ini Jadwal Final Pelantikan Kepala Daerah Hasil Pilkada 2024

Makan siang di sekolah adalah bagian dari pendidikan. Bahkan, ada diktatnya. Guru di tiap sekolah sampai membuat daftar menu. Makanan apa saja yang diberikan kepada anak didik. Apa kandungan nutrisi dan vitamin di dalamnya.

Dari mana bahan-bahannya. Harus yang organik, tak banyak tersentuh zat kimia. Harus dari petani lokal. Harus mengutamakan bahan lokal. Makan siang juga ada panduannya.

Harus memperhatikan pentingnya diet. Harus bisa memberi pengaruh tak hanya kepada kesehatan tubuh, tapi juga pikiran. Harus bisa mengajarkan kepada anak-anak, untuk cerdas dalam memilih makanan.

Dan harus-harus lainnya, sebagai sarana edukasi kepada anak-anak untuk belajar bersyukur. Jadi, jangan heran, nyaris tak ada yang tersisa dari makan siang anak-anak di sekolah.

Itu sempat saya lihat saat mengunjungi sekolah terpadu, SD-SMP Shibuya. Sekolah yang punya dua nutrisionis.

 Baca Juga: BRI Pacu Digitalisasi UMKM demi Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan

Makan Siang di Sekolah Sejak Ratusan Tahun Lalu

Di Jepang, makan siang di sekolah sudah dikenal sejak 1889. Dimulai di Prefektur Yamagata. Makan siang yang diperkenalkan sejak tahun enggak enak itu adalah nasi, salmon asin, dan acar.

Makan siang di sekolah berkembang, dan mengalami perubahan. Pada 1927, menunya berubah, nasi putih, makarel, sup miso dengan sayuran.

Kembali mengalami perkembangan dengan adanya tambahan susu skim (tanpa lemak) pada 1945. Ini sejarah makan siang, bukan sejarah perang dunia lho.

Karena "sekhusyuk" itu dalam menata menu dan makanan, tak heran, makanan khas atau olahan Jepang jadi favorit orang asing.

Dan tak heran, jika Anda ke Jepang, menggunakan fasilitas transportasi umum, berjalan di pusat-pusat keramaian, bakal sulit menemukan pria yang berbadan gemuk. Atau berperut buncit.

Halaman:

Tags

Terkini