Bau amis korupsi ditubuh Perusahaan Daerah Bara Kaltim Sejahtera (BKS) bukanlah hal baru. Jauh sebelum Kejati Kaltim turun tangan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perwakilan Kaltim sempat menyingkap tabir penyalahgunaan modal dari pemerintah itu pada 2021.
Temuan tersebut dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) bernomor 24.b/LHP/XIX/SMD/V/2021. LHP itu terbit 27 Mei 2021. Auditor negara itu merinci, sepanjang 2018-2020, sebanyak Rp 23,5 miliar modal usaha sudah digunakan perusahaan pertambangan tersebut.
Penggunaannya mengerucut pada lima kerja sama operasional jual-beli batubara serta penyewaan alat berat. Kerja sama itu, PT RPB mencatatkan dua transaksi: Rp 1,472 miliar dalam perjanjian sewa alat berat (16 Agustus 2018, lalu diaddendum Desember 2018) dan Rp 1,337 miliar dalam jual beli batu bara (30 Agustus 2018).
PT GBU, dengan perjanjian yang diteken Maret 2019, membawa Rp 7,481 miliar. CV ALG, dalam transaksi Juli 2017, memakai Rp 6,975 miliar.
Lalu ada PT KBA dengan Rp 4,409 miliar (April 2019), dan terakhir, PT PBM yang mengantongi Rp 2,081 miliar dari kesepakatan Agustus 2017. Semua catatan kemitraan itu belum ada satu pun uang daerah yang kembali dari para mitra kerja ketika LHP itu dirilis BPK.
Kuasa direktur CV ALG berinisial NJ sudah ditahan penyidik Kejati Kaltim pada 4 Februari lalu atas modal BKS yang tak kembali ke kantong daerah sebesar Rp 6,975 miliar. Sementara mantan Direktur Utama BKS berinisial IGS sudah ditetapkan namun tak ditahan karena masalah kesehatan.
Lalu, bagaimana dengan empat perusahaan lainnya? Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Kaltim, Toni Yuswanto mengatakan, penyidik masih mendalami perkara ini.
Jika cukup bukti, kata dia, bukan tak mungkin, empat mitra kerja BKS itu juga turut dijerat. “Pemeriksaan masih terus berjalan. Tidak terhenti di NJ atau IGS saja, masih berproses,” sebutnya.
Dari penggeledahan yang dilakukan penyidik di kantor BKS Kaltim pada 15 Januari 2025, sudah banyak bukti yang dikantongi untuk menyingkap tabir lancung dalam penggunaan modal daerah itu. “Fakta akan terus digali.
Tak hanya di empat perusahaan itu. Jika ada bukti keterlibatan pihak lain, tentu akan kami tuntut pertanggungjawabannya,” singkatnya. Terlebih, Kejati sudah memastikan jika negara merugi imbas kemitraan tersebut.
Dari hasil hitung Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Kaltim, dari Rp 23,5 miliar modal yang diberikan sebesar Rp 21,2 miliar.(*)