• Senin, 22 Desember 2025

Di Bawah Rp 150 Juta, Dinilai Terlalu Murah

Photo Author
- Selasa, 19 Februari 2019 | 00:58 WIB

Perumahan dengan harga murah terus bermunculan. Lazim menemui pengembang menawarkan harga di bawah Rp 150 juta untuk tipe 36. Lantas bagaimana di mata Asosiasi Perusahaan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi)?

APERSI mengungkap jika standar ideal harga perumahan yang ditetapkan pemerintah adalah Rp 153 juta. Harga itu telah sesuai dengan biaya konstruksi, material, upah pekerja dan lahan. Namun harga tersebut hanya mencakup harga total rumah menyeluruh namun, belum termasuk DP.

"Untuk standar harga 1 unit perumahan akhir 2018 itu Rp 153 juta. Tapi tahun 2019 ini belum ada harga standar terbaru karena pengajuan standar terbaru kami belum disetujui menteri dan presiden. Karena kemarin kami mengajukan standar harga Rp 187 juta untuk Kaltara. Itu sudah dari kalkulasi semua,” kata Ketua Apersi Kaltara Fernando Sinaga, kemarin (18/2).

Harga tersebut merupakan kalkulasi Apersi dan Real Estate Indonesia (REI). “Sebenarnya kalau mau dikalkulasi persatuan unitnya kalau membangun rumah 1 saja mencapai Rp 200 juta lebih. Tapi karena pengembang mengerjakannya dalam skala besar (banyak) jadi operasionalnya bisa lebih murah," tambah Fernando.

Standar ideal perumahan yang ditetapkan pemerintah adalah tipe 36. Namun, ia menerangkan, jika standar konstruksi pada setiap daerah berbeda-beda. Hal tersebut dikarenakan kondisi alam. Sehingga Apersi pada setiap daerah memiliki standar yang menyesuaikan daerahnya masing-masing. Hal itu dimaksudkan agar pembangunan perumahan tidak terlalu memakan biaya yang besar.

"Standar pemerintah itu 36, tidak boleh ada perumahan melebihi standar 36. Untuk kekuatan tanah, itu mengikuti wilayah. Jadi yang seperti tadi. Seperti ini ada wilayah-wilayah yang rawan gempa. Kami tidak bisa menyamakan keadaan alam di Kaltara dengan Kalsel. Kalau di Kalsel itu perumahan bawahnya itu ada namanya istilah awam tongkat karena di sana wilayah rawa. Kalau di sini harus pakai pondasi kalau dipancang tiangnya ada sepatunya. Untuk fasilitasnya standar perumahan yang ditentukan pemerintah itu harus ada WC-nya dan satu kamar mandi, dapur ,ruang tamu, 2 kamar tidur dan teras. Itu sudah standar dasarnya," jelasnya.

Pemerintah menerapkan tipe 36 dimaksudkan karena tipe tersebut cocok digunakan masyarakat dengan ukuran bangunan yang dapat ditambah sesuai kreasi pemilik rumah. Selain itu, ketetapan perumahan dengan tipe 36 tidak terlepas dari semakin sulitnya lahan karena adanya ledakan penduduk.

"Kenapa harus 36, tidak boleh lebih, karena imbauan pemerintah supaya perumahan ini sehat dan bertumbuh. Sehat lokasinya dan rumah ini bisa bertumbuh dalam artian dapat direnovasi atau ditambah badan rumahnya saat ditinggali. Untuk mengatasi itu ketika lahan makin sempit, pemerintah pusat sudah memikirkan. Rumah kembar ini harus dibarengi dengan struktur bangunan yang kuat. Supaya bertumbuhnya enak. Makanya, ada ketetapan spesifikasi supaya nantinya konstruksinya itu tetap kuat mendapat tambahan bagian bangunan," ujarnya.

Mengenai banyaknya perumahan yang mengalami keretakan, diakui sebagian besar perumahan di Kota Tarakan mengalami keretakan. Hal tersebut dikarenakan dengan kondisi kepadatan tanah yang kurang maksimal. Selain itu, ia tidak memungkiri jika adanya perusahaan pengembang yang ingin meningkatkan keuntungan dengan mengurangi biaya operasional.

"Karena strukturnya tanah di Tarakan beda dengan daerah lain. Kekuatan tanahnya beda dan potensi gempanya juga beda. Di Tarakan ini pada umumnya sebagus-bagusnya perumahan di Tarakan ini pasti ada keretakan. Kalau untuk rumah-rumah mewah yang melakukan pembangunan sesuai anjuran itu kuat. Tapi kalau misalnya perumahan ini kita tidak tahu mengikuti standar atau tidak. Kalau dikalkulasi secara normal tidak mungkin ada rumah di kisaran di bawah Rp150 juta,” sebutnya.

“Harga tanah, material, perizinan, penyiapan kelayakan misalnya penimbunan, penyambungan listrik, air dan lain-lain. Pasti harganya di atas itu," jelasnya.

Meski demikian, perumahan memang kerap digaungkan pemerintah sebagai cara untuk menjalankan strategi pemerataan penyebaran penduduk. Selain itu, menurutnya perumahan subsidi merupakan salah satu cara agar masyarakat dapat memiliki rumah sendiri tanpa harus memikirkan pembangunan yang panjang.

"Sampai saat ini wilayah Tarakan dan lainnya masih terbantu dengan adanya wilayah perumahan ini. Kenapa, kalau kami hitung dari pada mengontrak bertahun-tahun, orang lebih baik mengambil rumah subsidi. Karena kalau mengambil rumah saat ini angsurannya memang tinggi di awal, tapi begitu 15 atau 20 tahun ke depan angka yang dibayarkan itu lama mengalami penurunan nilai ekonomis. Kenapa, karena Rp 900 ribu tahun 2019 beda nilai ekonomisnya sama dengan uang Rp 900 ribu tahun 2030," ujarnya.

Meski demikian, menurutnya meski mengerjakan perumahan dengan harga cukup murah, pihak pengembang tetap dapat meraup keuntungan normal dengan tetap menjaga kualitas. Setiap pengembang memiliki strateginya sendiri untuk dapat meraup keuntungan.

"Kalau membicarakan untung secara komersil yah. Pengembang dia tidak mengambil untung yang besar, tetapi kuantitas. Jumlah yang banyak, nah itu yang diambil. Kalau perumahan komersil jual 1 rumah, untungnya besar. Tipe 45 atau 60 untungnya bahkan 2 kali lipat dari harga modal. Kalau  jujur kami katakan 1 unit untungnya minimal Rp 15 juta per/unit. 15 juta tapi kan karena banyak, ratusan hingga ribuan unit. Nah di situlah keuntungan pengembang," bebernya. (*/zac/lim)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: kalpos123-Azward Kaltara

Tags

Rekomendasi

Terkini

X