TANJUNG SELOR - Penanganan kasus stunting atau sebuah kondisi di mana tinggi badan seseorang jauh lebih pendek dibandingkan tinggi badan orang seusianya di Kalimantan Utara (Kaltara) tahun ini difokuskan di dua lokus, yakni Kabupaten Malinau dan Nunukan.
Namun, bukan berarti daerah lain, seperti Kabupaten Bulungan, Tana Tidung, dan Kota Tarakan tidak disikapi oleh Dinkes, tentu daerah lain itu tetap diintervensi. Salah satu fokus dari intervensi itu, dengan memperhatikan 1.000 hari pertama kehidupan (HPK).
Adapun, selama 1.000 HPK itu, ibu hamil tidak boleh mengalami kekurangan energi kronik (KEK). Tujuannya, supaya saat melahirkan, bayinya tidak mengalami stunting. Inilah sebabnya perlu dilakukan penanganan dengan pemberian PMT untuk ibu hamil.
“Di sini (1.000 HPK), tentu ada andil dari ibu hamil (bumil). Dia tidak boleh KEK, supaya saat bayi lahir tidak terjadi stunting,” ujar Usman, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kaltara saat ditemui di kantornya belum lama ini.
Adapun untuk penanganannya, salah satunya dengan memberikan paket makanan tambahan (PMT) untuk bumil. Saat ini, pihaknya terus berupaya agar daerah yang menjadi lokus utama ini, bumilnya bisa mendapatkan PMT tersebut secara merata.
Untuk di Malinau, ditemukan 2.393 ibu hamil (bumil) yang diprediksi KEK. Sejumlah bumil yang diprediksi KEK ini tersebar di beberapa lokasi atau desa, di antaranya di Long Lake dengan jumlah 259 orang, Malinau Hilir dan Long Suke masing-masing sebanyak 250 orang, dan Sesua sebanyak 227 orang.
“Di sini, kami juga telah melakukan penanganan dengan memberikan PMT sebanyak 12.924 kilogram (kg),” kata Usman.
Pastinya, berbagai upaya terus dilakukan oleh pihaknya untuk mengurangi terjadinya kasus stunting di provinsi termuda Indoneaia ini. Namun, berdasarkan hasil survei, potensi penderita stunting di Kaltara setiap tahun terus mengalami penurunan.
Untuk penurunan potensi stunting di provinsi ke-34 ini, tahun 2018 tercatat sebesar 28 persen. Angka ini menurun cukup tinggi dari potensi stunting hasil survei di tahun 2013 yang tercatat sekitar 40 persen.
“Target kita tahun ini penurunannya bisa terus terjadi sampai menduduki angka 20 persen,” katanya.
Oleh karena itu, beberapa program yang dilakukan saat ini dinilai sangat penting sebagai salah satu upaya untuk pencegahan terjadinya stunting. Namun, ia menegaskan bahwa untuk penanganan kasus ini tidak hanya menjadi tanggung jawab dari Dinkes.
“Ini menjadi tanggung jawab bersama. Termasuk juga instansi lain di pemerintahan, seperti Dinas Sosial (Dinsos) dan terpenting ada dukungan dari masyarakat,” sebutnya.
Sebab, persoalan kemiskinan juga menjadi salah satu pemicu terjadinya kurang gizi pada bumil yang pada akhirnya berdampak pada bayi. Maka dari itu, sangat diharapkan kerja sama dari semua pihak untuk menyikapi persoalan tersebut.
Tahun ini, anggaran yang dikucurkan pemerintah untuk penanganan stunting sekitar Rp 3,8 miliar. Anggaran tersebut bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) yang dialokasikan untuk penanganan di lima kabupaten/kota di Kaltara. (iwk/eza)