TANJUNG SELOR – Peredaran barang subsidi dari Negeri Jiran Malaysia, belum bisa diatasi. Pemerintah Indonesia bersama Pemerintah Malaysia juga telah berkoordinasi untuk menghentikan peredaran barang subsidi tersebut.
Dikatakan Kepala Biro Pengelola Perbatasan Negara (PPN) Setprov Kaltara, Samuel ST Padan, tugas antara instansi terkait di Pemprov Kaltara, berada pada jalur masuk perbatasan dan praktik perdagangan di lapangan. Sehingga, dengan menutup secara langsung di jalur masuknya, secara tidak langsung akan mematikan kegiatan perdagangan di masyarakat.
“Salah satu yang sangat penting adalah persoalan barang subsidi Malaysia yang masuk ke Kaltara. Terutama minyak goreng dan gula pasir,” ungkapnya kepada Harian Rakyat Kaltara, Jumat (1/2).
Sebab Pemerintah Malaysia sangat serius menanganinya, karena dianggap merugikan. Apalagi sudah ada kesepahaman untuk mempertegas jaringan keamanan dalam upaya menghentikan aktivitas perdagangan barang subsidi di internal Pemerintah Malaysia. “Dari pihak Malaysia sudah mengambil tindakan dengan meningkatkan patroli keamanan untuk mencegah barang tersebut keluar secara ilegal,” kata dia.
Ia menerangkan, ada alternatif solusi atas distribusi barang konsumsi dari Malaysia, guna memenuhi kebutuhan masyarakat di perbatasan. Karena pihak Malaysia tetap menghendaki kebijakan impor komoditas pangan sebagai implementasi perdagangan resmi. Namun, karena kewenangannya menjadi ranah pemerintah pusat, Pemprov Kaltara hanya sebatas meneruskannya. “Malaysia inginnya yang dibeli itu barang nonsubsidi melalui skema impor,” terangnya.
Disinggung terkait revisi Boarding Trade Agreement (BTA) 1970 yang sebelumnya dikatakannya belum tuntas, tahun ini juga disebutnya masih belum tuntas. Antara pihak Malaysia dan Indonesia belum sepakat dengan nominal uang yang bisa dibelanjakan oleh kedua belah pihak. “Revisi 1970 sampai ini belum tuntas, terutama dalam membahas nilai belanjanya,” ucapnya.
Menurutnya, apabila nominal bisa ditingkatkan dari RM500 menjadi USD500 sesuai yang diusulkan Indonesia, setidaknya bisa menghentikan aktivitas perdagangan ilegal. “Nilai RM500 tahun 1970 sudah tidak relevan dengan tingkat kebutuhan keluarga saat ini. Masyarakat di perbatasan bisa membeli komoditas untuk mencukupi kebutuhannya ketika nilai belanja di BTA dinaikkan,” pungkasnya. (*/fai/udi)