nasional

Tapera Mestinya Opsional Bukan Kewajiban, Serikat Buruh Ancam Demo dan Ajukan Judicial Review

Selasa, 4 Juni 2024 | 08:15 WIB
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) periode 2023-2028 Shinta Widjaja Kamdani. ANTARA FOTO/Zabur Karuru/foc/aa.

Misalnya, BPJS Kesehatan memotong gaji 1 persen, BPJS Ketenagakerjaan Jaminan Pensiun 1 persen, jaminan hari tua 2 persen, belum lagi PPh 21 atau pajak penghasilan pasal 21 yang memotong 5–35 persen sesuai penghasilan pekerja.

’’Potongan gaji pekerja dengan label wajib di atas semakin menambah trauma para pekerja,’’ tegas Suryadi. Belum lagi, imbuhnya, ketidakpercayaan masyarakat karena adanya penyalahgunaan dana seperti pada kasus Jiwasraya dan ASABRI.

’’Sehebat apa pun konsep skema pengelolaan dana yang dilakukan oleh Badan Pengelola (BP) Tapera, masyarakat masih sulit untuk diyakinkan,’’ bebernya.

Menurut anggota DPR dari dapil NTB 1 itu, belum adanya evaluasi terhadap pengelolaan dana tabungan perumahan pegawai negeri sipil (Taperum-PNS) yang merupakan cikal bakal tapera yang berjalan sejak 1993 sampai dilebur ke tapera pada 2018, menambah rendahnya kepercayaan masyarakat.

Apalagi, sampai sekarang masih ada kesulitan pencairan uang tabungan 200.000 PNS yang pensiun dan 317.000 PNS yang pernah menabung di Taperum-PNS yang dananya masih ada, tetapi mereka tak dapat mengambilnya.

Karena itu, Fraksi PKS meminta agar pemerintah membuka opsi evaluasi tapera yang sebenarnya sudah dilaksanakan sejak 2020 lalu bagi PNS.

’’Jika memungkinkan merevisi UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera, terutama berkaitan dengan kewajiban setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum untuk menjadi peserta tapera,’’ tegasnya.

 

Buruh Siap Bergerak

Presiden Partai Buruh yang juga Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mendesak pemerintah mencabut PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tapera. Menurutnya, terdapat enam alasan mengapa tapera harus dicabut.

Pertama, ketidakpastian memiliki rumah. Dengan iuran sebesar 3 persen dari upah buruh, dalam 10 hingga 20 tahun kepesertaan, buruh tidak akan bisa membeli rumah. Bahkan hanya untuk uang muka saja tidak akan mencukupi.

Kedua, dalam PP Tapera, tidak ada satu klausul pun yang menjelaskan bahwa pemerintah ikut mengiur dalam penyediaan rumah untuk buruh dan peserta tapera lainnya. Iuran hanya dibayar oleh buruh dan pengusaha saja, tanpa APBN dan APBD.

’’Dengan demikian, pemerintah lepas tanggung jawab,” kata Said kemarin (2/6) dikutip dari JawaPos.com. Alasan ketiga, tapera membebani biaya hidup buruh. Di tengah daya beli buruh yang turun 30 persen dan upah minimum yang sangat rendah akibat UU Cipta Kerja, potongan iuran tapera sebesar 2,5 persen menambah beban.

’’Belum lagi jika buruh memiliki utang koperasi atau di perusahaan, ini akan semakin membebani,” ucap Said. Keempat, dalam sistem anggaran tapera, terdapat kerancuan yang berpotensi besar disalahgunakan.

Kelima, tabungan yang memaksa. Said mengutarakan, pemerintah menyebut bahwa dana tapera adalah tabungan, maka seharusnya bersifat sukarela, bukan memaksa. Keenam, ketidakjelasan dan kerumitan pencairan dana tapera.

Halaman:

Terkini