JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengamati adanya pergeseran modus operandi dalam dugaan kasus korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah. Praktik korupsi kini sudah tidak dilakukan secara langsung, melainkan melalui seseorang yang menjadi perwakilan atau nominee.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa para pelaku cenderung menghindari penerimaan uang secara langsung.
“Modusnya sudah mulai bergeser, sehingga kalau kami mencari yang direct atau langsung, yang dia terima sendiri, nah itu sudah menjadi hal yang mereka hindari gitu ya oleh para pelaku ini,” ujar Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih KPK.
Asep menyampaikan pernyataan ini sehubungan dengan penanganan kasus yang melibatkan mantan Bupati Lampung Tengah, Ardito Wijaya (AW), yang baru-baru ini terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT).
“Jadi, menunjuk nomine lah, kemudian atas nama orang lain atau yang menerima orang lain gitu ya. Itu tren yang berkembang,” katanya. Oleh sebab itu, Asep menambahkan bahwa KPK memerlukan waktu yang cukup lama untuk membongkar praktik korupsi yang menggunakan perwakilan atau representasi.
Kasus Lampung Tengah Libatkan Kerabat dan Adik Bupati
Tren penggunaan representasi ini terlihat dalam kasus Lampung Tengah. KPK melakukan OTT pada 9–10 Desember 2025 dan kemudian mengumumkan lima orang sebagai tersangka pada 11 Desember 2025, termasuk Ardito Wijaya (AW).
Tersangka lainnya yang diduga berperan sebagai perwakilan atau terkait dengan pelaku utama adalah Ranu Hari Prasetyo (RNP): Adik Bupati Lampung Tengah sekaligus Ketua Palang Merah Indonesia Lampung Tengah.
Anton Wibowo (ANW): Pelaksana Tugas Kepala Badan Pendapatan Daerah Lampung Tengah sekaligus kerabat dekat Ardito Wijaya. Riki Hendra Saputra (RHS): Anggota DPRD Lampung Tengah. Mohamad Lukman Sjamsuri (MLS): Direktur PT Elkaka Putra Mandiri.
Kelima orang tersebut menjadi tersangka kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemkab Lampung Tengah tahun anggaran 2025. KPK menduga Ardito Wijaya menerima total Rp5,75 miliar terkait kasus tersebut, di mana Rp5,25 miliar di antaranya digunakan untuk melunasi pinjaman bank kebutuhan kampanye Pilkada 2024. (*)