nasional

Anggota DPR RI Beri Usul Tiru Negara Arab, Jalankan Kasino untuk Tingkatkan Pendapatan Negara

Senin, 26 Mei 2025 | 11:06 WIB
Salah satu pusat perjudian kasino terbesar di Las Vegas, Amerika Serikat. (Travel + Leisure)

PROKAL.CO, JAKARTA- Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Golkar, Galih Kartasasmita, mengusulkan pernyataan mengejutkan saat rapat bersama kementerian terkait membahas optimalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dalam pernyataannya, Galih menyarankan agar pemerintah mulai mempertimbangkan sektor-sektor nonkonvensional sebagai sumber penerimaan negara, termasuk ide kontroversial seperti pengoperasian kasino.

Menurut Galih, selama ini Indonesia terlalu bergantung pada sumber daya alam (SDA) sebagai tulang punggung penerimaan negara. Ia menyoroti bahwa meski SDA Indonesia memang kaya dan dominan, ketergantungan berlebihan pada sektor tersebut bisa menjadi kelemahan jangka panjang.

Baca Juga: MBG Dapat Pujian dari Diaspora di Malaysia: Banyak Anak Sekolah Berangkat Tanpa Makan

"Sekitar 15 tahun yang lalu, 10 sampai ke atas lah UEA (Uni Emirat Arab) itu pemasukan terbesarnya dari SDA. Tapi sejak krisis minyak pada saat itu, mereka sadar bahwa nggak bisa terus bergantung ke sana," kata Galih, dikutip Selasa (13/5) lalu. "Mohon maaf nih, saya bukannya mau apa-apa, tapi UEA kemarin udah mau jalanin Kasino, coba negara Arab jalanin Kasino, maksudnya mereka kan out of the box gitu kementerian dan lembaganya," ujar Galih saat rapat ketika itu.

Galih mencontohkan, UEA melakukan langkah cukup berani dengan meninggalkan ketergantungan terhadap SDA dan beralih ke sektor jasa, terutama pariwisata. "Walaupun PNBP terbesarnya masih SDA, mereka sudah nge-slide ke jasa, khususnya jasa sosial dan pariwisata. Ini bukti bahwa mereka mampu bertransformasi," jelasnya.

Dalam catatan sejarah, kasino pernah dibuka secara resmi di Indonesia dan memberi keuntungan besar ke pemerintah.  Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1967 di Jakarta. Gubernur Jakarta, Ali Sadikin ketika itu dihadapkan dengan tantangan pelik dalam membangun ibu kota.

Pada masa itu, banyak infrastruktur dan berbagai proyek besar belum dibangun karena anggaran tidak ada. Atas dasar tersebut, Ali Sadikin pun perlu mencari cara untuk bisa menambah anggaran. Alhasil, salah satu langkahnya melalui legalisasi perjudian.

Koran Sinar Harapan (21 September 1967) mewartakan, kebijakan ini dilakukan agar perjudian tidak lagi dilakukan secara diam-diam. Dengan melokalisasi perjudian ke satu kawasan khusus, pemerintah berharap mendapat aliran dana dari hasil judi. Pemerintah mencatat keuntungan dari judi ilegal mencapai Rp300 juta setiap tahun. Akan tetapi, dana sebesar itu rupanya tidak mengalir ke pemerintah, namun jatuh ke tangan oknum-oknum yang melakukan perlindungan.

"Uang tersebut jatuh ke tangan oknum pelindung perjudian tanpa bisa dirasakan oleh masyarakat," ungkap Pemerintah DKI Jakarta kepada Sinar Harapan. Pemerintah ingin uang hasil judi dipakai untuk membangun jembatan, jalanan, sekolah hingga rumah sakit.

Akhirnya, pada 21 September 1967, Pemerintah DKI Jakarta melegalkan judi lewat Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Chusus Ibukota Djakarta No. 805/A/k/BKD/1967.

Harian Kompas (23 November 1967) menjelaskan, lokasi Kasino legal pertama di Jakarta dan Indonesia berada di Kawasan Petak Sembilan, Glodok. Kasino ini berdiri atas kerja sama Pemerintah DKI Jakarta dengan seorang Warga Negara China bernama Atang. Lebih jauh, arena Kasino ini buka setiap hari tanpa henti dan dijaga ketat aparat kepolisian.

Namun, perjudian hanya ditunjukkan untuk WN China atau keturunan China di Indonesia. WNI tidak diperbolehkan bertaruh di meja judi. Sejak dibuka, Kompas memberitakan, Kasino di Petak Sembilan didatangi ratusan orang dari seluruh Indonesia.

Mulai dari Medan, Pontianak, Bandung, hingga Makassar. Ratusan orang tersebut sukses menghasilkan dana jutaan rupiah yang disetor setiap bulan ke pemerintah. "Berdasarkan statistik resmi dari arena perjudian, pajak yang diberikan ke pemerintah sebesar Rp25 juta setiap bulan," ungkap Kompas.

Nominal Rp25 juta saat itu tergolong besar. Harga emas, menurut surat kabar Nusantara (15 Agustus 1967), mencapai Rp230 per gram. Artinya, uang Rp25 juta bisa membeli 108,7 Kg emas. Jika dikonversi ke masa sekarang, berarti uang Rp25 juta atau 108,7 Kg emas setara dengan Rp200-an miliar.

Halaman:

Tags

Terkini