JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Kepulauan Riau pada Selasa (5/8), memperberat vonis Kompol Satria Nanda dari hukuman seumur hidup menjadi hukuman mati. Hakim menilai, Satria tidak hanya gagal mencegah penyalahgunaan barang bukti narkoba, tetapi juga terlibat aktif dalam praktik tersebut, termasuk tidak menindak tegas sembilan anggota bawahannya yang kini dipecat dan divonis seumur hidup.
Atas putusan itu, anggota Komisi III DPR Gilang Dhielafararez menanggapi vonis mati terhadap mantan Kasatreskrim Polresta Barelang, Kepulauan Riau, Kompol Satria Nanda, dalam kasus penyalahgunaan barang bukti narkoba.
Menurut dia, putusan tersebut menjadi ujian besar bagi institusi penegak hukum, khususnya Polri untuk menunjukkan komitmen pemberantasan narkotika tanpa pandang bulu.
“Vonis ini harus menjadi momentum reformasi internal Polri, bukan sekadar panggung penegakan hukum,” kata Gilang kepada wartawan, Rabu (13/8). Dia menegaskan penghukuman terhadap individu saja tidak cukup, bila akar masalah seperti lemahnya pengawasan internal dan potensi kolusi masih dibiarkan.
Gilang mendorong Polri memperkuat peran Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) sekaligus meningkatkan pengawasan eksternal dengan melibatkan lembaga independen.
Menurutnya, langkah ini penting agar publik melihat bahwa penegakan hukum tidak hanya memotong ranting, tetapi benar-benar mencabut akar praktik mafia narkoba di tubuh kepolisian.
Gilang juga menyoroti perbedaan putusan antara Satria Nanda dan Irjen Teddy Minahasa dalam kasus serupa. Ia mengingatkan, KUHP baru yang berlaku 2026 membuka peluang konversi hukuman mati menjadi penjara seumur hidup bagi terpidana yang berperilaku baik.
“Aturan ini harus dijabarkan secara ketat agar tidak menjadi celah pengurangan hukuman secara politis atau transaksional,” tegasnya. Ia menilai harmonisasi undang-undang narkotika, pidana mati, dan TPPU penting untuk memastikan vonis berat juga memutus aliran dana ilegal jaringan kejahatan.
Gilang melihat kasus ini membuka babak baru dalam penanganan kejahatan narkotika di Indonesia. Ia menduga adanya tindak pidana pencucian uang (TPPU) melalui penggelapan barang bukti narkotika.
Karena itu, negara harus memanfaatkan pasal-pasal TPPU untuk melacak, membekukan, dan menyita aset hasil kejahatan, baik berupa rekening, properti, kendaraan, maupun investasi tersembunyi.
Gilang juga mendorong peningkatan koordinasi strategis antara Kepolisian, PPATK, dan Kejaksaan untuk mempercepat penelusuran dan pembuktian aliran dana ilegal. “Perang melawan narkotika tidak boleh berhenti pada penangkapan individu, tetapi harus meruntuhkan ekosistem keuangan gelap yang menjadi urat nadi bisnis haram tersebut,” pungkasnya. (*)