nasional

Kenaikan PBB "Ugal-ugalan" di Pati dan Daerah Lain, Pertanda Fungsi Pajak Bergeser

Jumat, 15 Agustus 2025 | 10:26 WIB
Aksi massa di depan kantor Bupati Pati Sudewo, Rabu (13/8).(IST).

JAKARTA- Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 250 persen yang memicu kerusuhan di Pati disoroti sebagai gejala bergesernya pemahaman pemerintah daerah (Pemda) terhadap fungsi pajak. Menurut Sekretaris Majelis Pakar Konsorsium Pembaharuan Agraria, Iwan Nurdin, Pemda kini cenderung memandang PBB sebagai sumber pendapatan utama, bukan lagi sebagai pengendali harga tanah seperti amanat Undang-Undang Agraria.

Iwan menjelaskan, pandangan ini bertentangan dengan UU 5/1960. Ia menduga, Pemda menabrak aturan tersebut karena alasan klasik: kekurangan anggaran. "Selama ini informasinya Pemda tidak punya uang atau anggaran," ujarnya. Padahal, seharusnya Pemda lebih gencar menagih dana alokasi dari pemerintah pusat, bukan menaikkan pajak secara "serampangan" kepada rakyat.

PBB, yang merupakan peninggalan kolonial Belanda, seharusnya dikembalikan fungsinya sebagai alat pengendali harga tanah. Iwan juga mengkritik minimnya transparansi dalam penggunaan dana PBB. Masyarakat tidak merasakan kontribusi nyata dari pajak yang mereka bayarkan, sementara masalah seperti banjir atau lingkungan yang tidak aman tetap tidak tertangani.

PBB Naik Karena Dana Pusat Menurun, Pemda Didorong Tagih Anggaran ke Jakarta

Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang menimbulkan kerusuhan di Pati dinilai sebagai efek domino dari kebijakan anggaran pemerintah pusat. Sekretaris Majelis Pakar Konsorsium Pembaharuan Agraria, Iwan Nurdin, menyebut penurunan dana dari pusat ke daerah menjadi penyebab utama Pemda kekurangan anggaran.

Oleh karena itu, Iwan mendesak Pemda untuk lebih vokal dalam menagih hak mereka kepada pemerintah pusat. "Getol minta ke pusat dana alokasi. Bukan dengan menaikkan PBB secara serampangan," kritiknya. Ia menambahkan, kenaikan pajak tanpa dasar yang jelas dan dialog publik hanya akan memicu gejolak sosial.

Sebagai solusi, Iwan Nurdin menyarankan Pemda untuk kembali pada pandangan awal Undang-undang Agraria, yaitu menjadikan PBB sebagai pengendali harga tanah, bukan sebagai sumber pendapatan negara. Dengan begitu, Pemda bisa fokus pada efisiensi anggaran dan mencari sumber pendapatan lain yang tidak membebani rakyat secara serampangan.(*)

Tags

Terkini