PROKAL.co, Jakarta— Satu konten berisi disinformasi, fitnah, dan kebencian (DFK) dapat melahirkan sejuta kebencian, bahkan mengoyak kepercayaan dan persaudaraan dalam masyarakat. Hal ini diungkapkan oleh Tenaga Ahli Utama Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO), Hariqo Wibawa Satria, menyusul maraknya konten DFK yang tersebar luas di media sosial.
Hariqo mencontohkan bagaimana rekayasa konten yang menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI), seperti video deepfake, bisa dengan cepat memicu kekisruhan publik. Salah satu contoh yang baru-baru ini mencuat adalah video palsu yang seolah-olah memperlihatkan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan "guru adalah beban negara." Video serupa juga sempat menggambarkan Presiden Prabowo Subianto menawarkan bantuan langsung tunai secara tidak resmi, yang ternyata juga hasil manipulasi digital.
"Satu ulasan negatif berbasis fitnah terhadap sebuah rumah makan bisa membuat ribuan orang batal datang. Begitu juga satu video DFK terhadap tokoh agama atau pemimpin dapat menimbulkan jutaan kebencian. Satu peluru hanya membunuh satu orang. Tapi satu disinformasi bisa membunuh kepercayaan, merusak persaudaraan, bahkan masa depan bangsa,” ujar Hariqo.
Hariqo merujuk Laporan Risiko Global 2025 dari World Economic Forum (WEF), yang menempatkan misinformasi dan disinformasi sebagai ancaman global nomor empat saat ini, dan diprediksi menjadi nomor satu pada tahun 2027. Laporan tersebut melibatkan lebih dari 900 pakar lintas sektor dari seluruh dunia, mulai dari akademisi, pelaku bisnis, pemerintah, hingga masyarakat sipil.
Menurutnya, ancaman DFK bukan sekadar teori. Ia menunjukkan dampak nyata dari penyebaran hoaks terhadap kehidupan masyarakat. Salah satu contohnya adalah angka kematian akibat COVID-19 di Amerika Serikat, yang menurut analisis Kaiser Family Foundation (2022), bisa berkurang hingga 234.000 jiwa jika semua orang dewasa divaksin. Namun, disinformasi vaksin yang tersebar luas berkontribusi pada tingginya angka penolakan vaksin, dan pada akhirnya, banyaknya kematian yang seharusnya bisa dicegah.
Hariqo juga menyoroti peristiwa kerusuhan besar yang melanda Inggris selama hampir dua pekan pada Agustus 2024. Kerusuhan itu dipicu oleh disinformasi terkait pembunuhan tiga anak perempuan di Southport. Di Los Angeles, Amerika Serikat, pada Juni 2025, kerusuhan massal juga pecah akibat kabar palsu mengenai operasi penegakan hukum imigrasi yang dikabarkan bersifat diskriminatif.
“Ini bukan isu sepele. Sudah banyak keluarga di seluruh dunia yang menangis karena disinformasi. Yang kita butuhkan sekarang adalah literasi digital yang kuat dan kolaborasi semua pihak untuk melawannya,” tegasnya.
Hariqo mengajak masyarakat Indonesia untuk tidak mudah terpancing dan terprovokasi oleh informasi yang belum terverifikasi. Menurutnya, penting bagi masyarakat untuk mengecek sumber, memahami konteks, dan tidak langsung menyebarkan informasi, terutama yang berbau sensasional.
“Kita semua punya peran. Jangan jadi bagian dari mata rantai penyebaran kebencian. Verifikasi sebelum membagikan. Kebenaran tidak membutuhkan kecepatan, tapi ketelitian,” tutup Hariqo.
Pemerintah menegaskan komitmennya dalam memerangi DFK dengan memperkuat kerja sama antar lembaga, termasuk Kementerian Komunikasi dan Informatika, aparat penegak hukum, serta platform digital untuk mempercepat penanganan konten berbahaya di dunia maya.