nasional

Dua Pekan Pasca Banjir Bandang, Warga Aceh Tamiang Derita Krisis Kesehatan dan Logistik

Rabu, 10 Desember 2025 | 12:10 WIB
Sejumlah bangunan rusak pascabanjir bandang di Aceh Tamiang, Aceh. ANTARA/bayu pratama.

 

ACEH TAMIANG- Dua pekan berlalu sejak banjir bandang melanda Aceh Tamiang, namun penderitaan warga belum juga usai. Hingga kemarin, bantuan logistik dan medis yang dinanti dari pemerintah pusat dinilai masih sangat minim, meninggalkan masyarakat di sejumlah kecamatan menghadapi krisis kesehatan dan isolasi.

Di Kecamatan Karang Baru, masyarakat kini hidup dalam bayang-bayang krisis kesehatan karena belum terjangkaunya layanan medis, minimnya air bersih, dan lumpuhnya akses transportasi. Penanganan pemerintah dinilai lambat, padahal situasi di lapangan semakin mengkhawatirkan.

Candra, salah seorang warga Karang Baru, mengungkapkan bahwa banyak penduduk kini terserang penyakit kulit, kutu air, dan batuk akibat debu lumpur yang mengering. "Debu dari bekas lumpur itu sangat mengganggu. Kami butuh obat dan masker medis," keluhnya. Debu tebal tidak hanya mengganggu aktivitas, tetapi juga meningkatkan risiko penyakit pernapasan.

Pantauan di sejumlah titik menunjukkan bahwa posko medis hanya tersedia di pusat kota, sementara desa-desa terdampak di pedalaman tidak memiliki fasilitas kesehatan darurat. Warga yang tinggal jauh terpaksa menahan sakit atau mengobati diri seadanya, memicu kekhawatiran akan potensi merebaknya penyakit pascabencana.

Akses transportasi juga menjadi persoalan pelik. Banyak kendaraan warga rusak terendam banjir. Bagi yang masih memiliki kendaraan, kesulitan mencari Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi kendala. Candra mencontohkan, harga satu liter Pertalite bahkan melambung hingga Rp 30.000, jauh di atas harga normal. "Kalau mau ke kota, motor rusak. Kalau pun hidup, cari minyak mahal sekali dan susah dapat," ujarnya.

Kondisi serupa terjadi di Desa Alur Bemban. Warga setempat, Ci Abu, menilai penyaluran bantuan pemerintah sangat lambat. Hingga Selasa (9/12), ia menyebut belum ada satu pun bantuan pemerintah yang tiba di desanya.

"Bantuan banyak dari relawan. Bahkan orang China pun membantu kita. Terharu saya," ucap Ci Abu dengan mata berkaca-kaca, sembari menerima bantuan pangan dan selimut dari kelompok-kelompok relawan dari berbagai daerah.

Meski demikian, kebutuhan jangka panjang seperti air bersih, peralatan sanitasi, dan obat-obatan masih jauh dari terpenuhi. Keterbatasan air bersih menjadi alarm serius. Warga terpaksa menggunakan air lumpur bekas genangan banjir untuk mencuci pakaian dan mandi.

“Bersih-bersih pakai air lumpur. Anak-anak mulai sakit-sakit dan diare,” kata Ci Abu. Situasi ini mengancam peningkatan kasus penyakit kulit, diare, hingga infeksi lainnya, mengingat warga harus bertahan dengan kondisi sanitasi yang sangat minim.

Selain itu, sejak hari pertama banjir pada Rabu (26/11), listrik di Alur Bemban belum menyala hingga Senin (8/12). Sudah lebih dari dua pekan warga hidup dalam kegelapan. Ketiadaan listrik bukan hanya mengganggu kegiatan sehari-hari, tetapi juga menghambat upaya pemulihan, seperti menyalakan pompa air atau menyimpan makanan dengan aman. (*)

Terkini