• Minggu, 21 Desember 2025

“Gak Cuman Figuran: Perempuan Ambil Alih Cerita di K-Pop Demon Hunters”

Photo Author
- Selasa, 8 Juli 2025 | 11:04 WIB

 

Di industri hiburan global, perempuan sering kali ditampilkan dalam posisi pasif—sebagai pemanis, pelengkap, atau bahkan korban. Narasi besar didominasi tokoh laki-laki, sementara perempuan jarang diberi ruang sebagai pusat cerita, apalagi di genre aksi. Tapi dalam film K Pop Demon Hunters hadir untuk menggeser dominasi itu.

Film animasi ini memperkenalkan karakter perempuan Asia yang tak hanya kuat secara fisik, tapi juga kompleks secara emosional. Mereka bukan tokoh tempelan. Mereka adalah pahlawan—penuh luka, keberanian, dan ambisi. Dalam konteks feminisme, ini bukan sekadar soal representasi, tapi soal mengklaim ruang dan menggeser struktur naratif yang patriarkal.

Rumi, Mira, dan Zoey, anggota grup HUNTR/X, menjalani kehidupan ganda sebagai idol dan pemburu iblis. Tapi yang membuat mereka menonjol bukan hanya kemampuan bertarung, melainkan latar cerita mereka yang digali dengan utuh. Mereka punya trauma, konflik internal, dan hubungan yang mendalam satu sama lain.

“Kami ingin bikin karakter perempuan yang kelihatan kayak ibu kami, kakak kami, orang Asia yang kita kenal dan banggakan.” Maggie Kang, sutradara (via Entertainment Weekly)

Dalam sinema yang sering menampilkan perempuan sebagai objek pandang laki-laki (the male gaze), K Pop Demon Hunters menghadirkan pandangan alternatif: perempuan sebagai subjek yang memegang kendali atas tubuh, cerita, dan pilihan hidupnya sendiri.

Visualisasi para tokoh perempuan dalam film ini tidak mengandalkan seksualitas berlebih atau penampilan yang melayani fantasi maskulin. Sebaliknya, mereka digambarkan sebagai manusia utuh yang kuat, rapuh, dan emosional sekaligus. Inilah bentuk feminisme interseksional dalam film populer: perempuan Asia, yang selama ini kerap direduksi dalam stereotip eksotis, tampil sebagai penggerak utama cerita.

Pilihan pengisi suara seperti Arden Cho, May Hong, dan Ji-young Yoo, memperkuat otentisitas ini. Mereka bukan hanya menyuarakan karakter, tapi juga menyuarakan pengalaman kolektif perempuan Asia di industri yang didominasi standar kulit putih dan maskulinitas hegemonik.

HUNTR/X bukan hanya grup idol fiksi. Mereka adalah representasi budaya pop yang menolak dibungkam. Lagu-lagu mereka viral karena mengangkat tema perlawanan, kemarahan, dan keberanian—tema-tema yang selama ini jarang dikaitkan dengan perempuan dalam K Pop.

Dalam laporannya, Daily Beast menyebut keberhasilan HUNTR/X di tangga lagu sebagai bukti bahwa narasi perempuan bisa diterima publik luas dan berdaya saing secara komersial.

Menurut jurnal di Journal of Japanese & Korean Cinema (2020), perempuan dalam film aksi Korea kini tak lagi dikonstruksi sebagai pelengkap karakter pria. Mereka punya agency, motivasi pribadi, dan ruang untuk tumbuh. Ini adalah bukti bahwa struktur naratif lama mulai runtuh, digantikan oleh paradigma yang lebih setara (Tandfonline).

Dalam hal ini, K Pop Demon Hunters berdiri sebagai bagian dari gerakan sinema feminis: melawan dominasi patriarki melalui penceritaan yang berpihak pada perempuan.

Banyak Gen Z perempuan menyuarakan bahwa film ini mewakili suara dan pengalaman mereka. Bukan sekadar “akhirnya ada cewek keren di film animasi,” tapi juga karena tokoh-tokohnya menunjukkan bahwa jadi cewek nggak harus kuat dalam definisi laki-laki. Kelembutan pun bisa menjadi bentuk perlawanan.

Fanart, diskusi TikTok, bahkan essay kritis bermunculan. Artinya, film ini menyentuh sesuatu yang lebih dalam dari sekadar fandom. Ia menyentuh kebutuhan akan cerita yang adil dan setara.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Resensi Buku Buat Apa Rindu Kau Terjemahkan

Senin, 24 November 2025 | 14:32 WIB
X