APA hubungannya, ditutupnya Jembatan Sambaliung dengan jumlah pengunjung ke Pasar Adji Dilayas. Tapi, oleh pedagang menggambarkan cukup berpengaruh.
Hari Rabu (22/6) kemarin, saya ke pasar yang ada di kawasan kilometer lima itu. Mencari yang oleh banyak toko, sudah tidak ada yang jual. Apa yang saya cari? Sikat yang memakai ijuk. Teman saya tertawa. Mana ada lagi yang jualan sikat jenis itu.
Sudah keliling, termasuk mencari di salah satu warung penjual barang-barang yang tidak masuk kategori modern lagi di Jalan P Diguna. Yang jualan orang Banjar. Ketika saya tanyakan apa yang saya cari, penjualnya ketawa. “Kadada lagi nang bejualan itu Pak,” kata penjualnya.
Belum puas juga. Saya ke toko Sulawesi, depan warung Sop Saudara di Jalan AKB Sanipah. Jawabannya sama. Kata penjualnya, mana ada lagi yang jualan berbahan ijuk. Semuanya sudah berganti plastik. Kualitasnya lebih bagus yang plastik. Saya maunya yang memakai ijuk.
Repot juga jadinya. Saya tanya ke teman-teman, jawabannya serupa.Jangankan sikat ijuk, sapu saja semuanya sudah tak menggunakan ijuk lagi. “Pakai plastik sekarang,” kata teman saya.
Ini kali terakhir berusaha mencari sikat ijuk itu. Sayapun ke Pasar Adji Dilayas. Di sisi kanan pasar, banyak yang berjualan alat-alat rumah tangga. Jangan-jangan ada terselip barang sebiji, sikat ijuk yang belum sempat terjual.
Semua penjual saya temui. Jawabannya seragam. “Tidak ada lagi yang menjual seperti itu,” kata sang pedagang. Sayapun percaya. Mendapatkan sikat berbahan ijuk itu, kini menjadi barang langka.
Mengapa ngotot mencari berbahan ijuk. Kan ada yang berbahan plastik kalau hanya sekadar untuk menyikat. Kan hasilnya bisa sama saja. Saya melihatnya dari sisi tradisonalnya saja. Bukan dari hasil akhir, bila digunakan menyikat pagar yang mulai berlumut. Akhirnya saya putuskan, berhenti mencari sikat ijuk.
Lalu, saya bergerak ke dalam kawasan pasar basah. Melihat para penjual ikan dan daging. Saya tertarik membeli ikan bandeng yang berukuran semi jumbo. “Ini enak dibakar dan dipallumara,” kata saya.
Dibanding hari-hari sebelumnya, cukup beda banyaknya warga yang datang berbelanja. Saya coba bertanya pada penjual ikan bandeng. Soal warga yang datang berbelanja. “Ikan dan daging banyak, yang berbelanja saja yang menurun,” kata sang penjual ikan.
Saya membeli ikan bandeng ukuran semi jumbo yang dijual seharga Rp 35 ribu per kilogram. Juga ikan teri yang masin nampak segar, seharga Rp 25 ribu per kilogramnya. “Enak digoreng tepung dan makannya masih panas-panas,” kata penjualnya.
Ketika lewat di deretan penjual sayur, saya disapa ibu-ibu yang jualan. “Cari apa ki Daeng,” kata mereka. Kok tahu Pak Daeng? Ia memang kenal. Kan kebanyakan dari mereka yang jualan sayur, asalnya dari Makassar. Haha.
Saya lalu bertanya soal harga jual sayur-mayur menjelang lebaran haji. Apakah ada perubahan atau tidak. Mereka hanya tersenyum. “Hampir tidak ada kenaikan harga jual sayuran,” kata mereka. Tapi, sambungnya, ada yang berubah. “Dodongi paballia Daeng,” katanya singkat. Kata dodong itu, ingin menggambarkan berkurangnya jumlah pengunjung yang datang berbelanja, selama jembatan Sambaliung tutup.
Bisa jadi, warga yang datang tidak lagi setiap hari. Bisa jadi pula, warga Sambaliung, memilih buat sementara tak ke Pasar Adji Dilayas, dan memilih ke Pasar Bangun. Keperluan ikan dan ayam, di Sambaliung banyak kios ikan yang jualan di tepi jalan.