• Senin, 22 Desember 2025

Tangisan Siti

Photo Author
- Jumat, 23 Juni 2023 | 00:15 WIB
-
-

“MAU jahit sepatu pak,” kata ibu muda yang baru pulang bekerja. Saya iyakan saja dan menjanjikan selesai keesokan hari. Iapun sepakat kembali sesuai janji.

Peran pengganti terpaksa saya lakukan. Setidaknya, keesokan harinya pemeran utama sang penjahit asli, bisa mendapatkan uang Rp 15 ribu sebagai upah jasa menjahit. Yang asli ke mana?

Sore tiga hari lalu itu, seperti jadi kebiasaan. Setelah olahraga sore, saya mampir di tempat penjahit sepatu. Dia teman saya, yang sama-sama asal Makassar. Biasanya ia tetap di tempat hingga menjelang Magrib.

Tapi sudah tiga hari itu, ia sudah menghilang seusai salat Ashar. Ada apa? Banyak pertanyaan yang sulit ditebak jawabannya. Mungkin ia pulang ke rumahnya. Mungkin ia ke tempat temannya yang sama-sama penjahit sepatu.

Ada tebakan saya, didasarkan pengalaman sebelum-sebelumnya. Ia pasti menghilang menghindari para penagih utang. Teman saya itu, sepertinya meminjam uang lebih dari satu orang. Janjinya, membayar dari hasil menjahit sepatu.

Karena belum bisa membayar itupun, ia memilih untuk menghilang. Itu bukan tabiat aslinya. Saya menduga, sengaja menghindar agar tidak terjadi ketegangan. Teman saya pernah cerita, kalau mereka yang menawarkan pinjaman uang itu, kalau akan memberi penuh dengan rayuan dan senyuman. Bila menagih, terjadi situasi sebliknya.

Itulah yang dihindari. Takut terjadi sesuatu. Sayapun merasa sedih dengan apa yang dialami teman saya. Saya pernah mengatasi persoalannya, membayar para penagih itu. Tapi, hanya bisa untuk sehari. Esoknya saya tidak tahu, bagaimana mengatasinya.

Ini contoh nyata saja. Dan saya merasa semua yang meminjam uang dari jasa pemberi pinjaman itu, perlakuannya sama. Bukan hanya para tukang jahit sepatu. Penjual buah dan makanan sekitar perpustakaan, hampir semua menjadi nasabahnya. Perlakuannya bisa sama.

Saya pernah menyaksikan bagaimana ekspresi mereka saat menagih utang. Ada yang cukup bersahabat dan memaklumi bila belum bisa membayar. Ada juga yang menampakkan wajah tidak bersahabatnya.

Jumlah mereka banyak sekali. Bersepeda motor dengan ciri khas membawa tas yang melilit di badannya. Mereka ini sebetulnya hanyalah anak buah. Ada juragannya yang mempekerjakan mereka. Mereka diberi target. Bila tidak tercapai, mereka juga bisa dapat ‘hukuman’ dari majikannya.

Mungkin karena itulah, seorang ibu setengah baya yang diperlakukan tidak nyaman oleh penagih utang. Padahal, pinajaman ibu yang namanya Siti itu tersisa Rp 250 ribu. Ini akibat, menunggak selama 5 hari dari pinajaman Rp 1 juta dengan bunga 20 persen dan harus dicicil Rp 50 ribu per hari.

Ibu Siti sudah berjanji siap membayar. Tapi tetap saja menerima kalimat yang tak nyaman. Bahkan menurut pengakuan Bu Siti, ada tendangan di bagian badannya. “Saya sempat pingsan,” kata Siti saat saya berkunjung ke rumah kontrakannya yang sempit  di Gang Gotong Royong, Jalan H Isa I. Kejadiannya siang hari di depan Masjid Agung Baitul Hikmah.

Ia menangis saat saya berkunjung malam hari bersama istri Pak Agus Tantomo, Fika Agus Tantomo. Wanita asal Wonosobo itu megaku bekerja sebagai pemulung. Hasil mulungnya itu yang dia sisihkan untuk membayar cicilan utangnya. Dia mengaku ketakutan, setelah berhadapan dengan penagih yang memberinya pinjaman.

“Saya meminjam itu untuk kebutuhan makan anak-anak saya,” kata Bu Siti. Ia sama sekali tidak menyangka akan mendapat perlakuan seperti itu. Ia tidak tahu bagaimana kelanjutannya. Sebab, dari kejadian itu, ada petugas Satpol PP yang melaporkan apa yang ia alami kepada kepolisian.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

X