LUPA kalau hari Senin (3/7) kemarin. Lupa kalau pas sibuk-sibuknya teman-teman para purnatugas mengambil jatah bulanannya. Sibuk-sibuknya pegawai Bankaltimtara.
Saya sebetulnya ke kantor bank di Jalan Kartini itu, mau bayar pajak bumi bangunan. Sepekan lalu, mau bayar kewajiban itu. Sayangnya, tiga tempat yang direkomendasikan untuk pembayaran, semua terkendala jaringan internet yang lagi macet.
Karenanya, barulah di hari Senin, kemarin itu ke bank untuk menyelesaikan kewajiban tersebut. Tak ada loket khusus pembayaran PBB, kecuali yang ada di kantor Dispenda. Ada khusus layanan bank yang terkait setoran pajak.
Bapak mau urusan ke Costumer Service atau ke Teller, kata petugas yang siap mengambilkan nomor urut dari mesin. Mau bayar PBB, kata saya. Diberilah kertas kecil yang tercetak dengan nomor urut 106. Lumayan lama menunggunya, ujar petugas berbaju dinas.
Saya suka berlama-lama. Tapi, dengan nomor tunggu 106, sementara di teller terlihat urutan baru di angka 50. Bisa menunggu dua jam lamanya, kata saya dalam hati. Tak masalah, kan bisa bertemu banyak orang.
Apa kabar Pak Daeng, begitu sapaan Pak Mundus yang dulu bekerja di PDAM. Saya kenal beliau, yang sama-sama perantau. Beliau salah seorang tokoh masyarakat Toraja. Banyak teman-teman para purnatugas, yang menunggu panggilan.
Karena penuh, saya memilih duduk di meja bulat, tak jauh dari teller. Kebetulan ada Pak Tufik Rakhmadi, ASN Dinas Pariwisata. Sahabat saya enam tahun silam. Ramai jua bedapat para pensiunan lah?, kata Taufik.
Saya hanya memberikan tips, bahwa menjadi seorang pensiunan melalui proses panjang. Sebuah perjuangan dengan suka dan duka. Berceminlah pada mereka, yang masih nampak bugar di usianya yang lebih dari 60 tahun, kata saya.
Hanya rambut yang rata-rata nampak memutih. Mereka dari berbagai SKPD tempatnya mengabdi di akhir jabatannya. Kita masih saling mengenal. Saling berbagi senyuman. Senyuman tulus para purnatugas. Rambut pian hitam terus, kata Taufik sambil tertawa.
Saya masih harus menunggu lama. Yang nomor urutan tunggunya, semua masih setia mananti. Berarti, saya juga harus lebih setia menunggu hingga di urutan 106. Butuh waktu sejak tiba hingga mendapat panggilan, sekitar dua jam. Lumayan untuk menguji kesabaran.
Bukan soal menunggunya, kata saya dengan Pak Taufik. Masalahnya belum sempat ke warung pojok. Kalau sudah lewat jam 12.00 wita siang, warung pojok pasti sudah tutup. Absen sehari tak masalah. Ada Pak Hendra dan beberapa teman pasti maklum. Kebetulan cuaca juga kurang bagus.
Tak lama, ada yang ikut bergabung duduk satu meja. Dia senyum sambil menyalami. Saya tidak begitu hafal namanya. Mungkin karena lama tak berjumpa. Apalagi dia memakai topi berlogo Dinas Perhubungan. Apa iya, beliau pensiunan Dinas Perhubungan? tanya saya dalam hati.
Lalu, berceritalah, bagaimana proses awal Ia tiba di Berau di tahun 1976. Dia ditempatkan di Dinas Kesehatan. Begitu menyebut Dinas Kesehatan, saya lalu ingat beliau dulu tinggal tak jauh dari Jembatan Sambaliung.
Berceritalah, bagaimana proses pimpinan di kantor Dinas Kesehatan hingga di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abdul Rifai. Dulu dikenal hanya rumah sakit umum saja. Belakangan baru ada nama yang diabadikan, dari salah seorang dokter yang dinilai berjasa di Berau.