TEPAT 12 Muharram 1445 H/30 Juli 2023 M, Pimpinan Cabang Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah Kecamatan Gunung Tabur Kabupaten Berau melakukan Musyawarah Cabang ke-2. Selain dihadiri oleh Forkopimcam, perhelatan lima tahunan ini juga digembirakan dengan kehadiran berbagai tokoh, sesepuh dan pengurus Muhammadiyah dan Aisyiyah Daerah Berau, Cabang Tanjung Redeb, Sambaliung dan Gunung Tabur.
Pada momentum ini, saya yang lama hidup di Yogyakarta melihat semangat pencerahan yang ditampakkan di pedalaman Kalimantan Timur. Kalau hidup di Yogyakarta dan merasakan vibes Muhammadiyah, itu hal yang wajar. Tetapi saya justru menemukan semangat pencerahan ormas ini di pelosok Kalimantan.
Oleh karena itu, tulisan sederhana ini mencoba melihat ormas Islam yang didirikan pada 18 November 1912 melalui wilayah yang jauh dari gegap gempita persyarikatan.
Geografis dan Historis Gunung Tabur
Secara geografis, di sebelah utara kecamatan ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Utara dan di sebelah timur bertetanggaan dengan Kecamatan Pulau Derawan yang terkenal dengan keindahan wisata baharinya. Sedangkan Tanjung Redeb sebagai ibukota Kabupaten Berau berada di sebelah selatan dan di sisi Barat bersebelahan dengan daerah penghasil kelapa sawit, Kecamatan Segah.
Berdasarkan geografisnya, wilayah ini memang cukup strategis, karena diapit oleh daerah-daerah penting di wilayah Utara pulau Kalimantan. Selain itu dilihat dari sisi historis, Kecamatan Gunung Tabur juga mempunyai peran penting dalam penyebaran Islam. Sebab dari wilayah ini lahir Kesultanan Gunung Tabur yang khas dengan simbol-simbol berwarna kuningnya.
Islam Masuk ke Berau
Sebagaimana corak Islam yang berkembang di berbagai wilayah Indonesia yang diawali dengan akulturasi budaya masyarakat lokal, begitu pula Islam hadir di bumi Batiwakal. Hal ini menandakan bahwa perkembangan Islam di Berau cukup membawa pengaruh bagi masyarakat setempat. Perkembangan Islam di Berau tidak dapat dipisahkan dari sejarah dua kerajaan yang pernah berjaya di Kabupaten Berau, yaitu Kerajaan Gunung Tabur dan Kerajaan Sambaliung.
Pemukiman penduduk di Berau telah ada sejak abad ke-13 dengan kehidupan berkelompok-kelompok dari pusat pemukiman yang dinamakan “banua”. Setiap banua dipimpin oleh seorang kepala adat sekaligus kepala pemerintahan dan agamawan. Sejak abad ke-14 terdapat 7 banua yang besar.
Kemudian para pemimpin adat dari masing-masing banua berunding untuk menyatukan banua menjadi satu wilayah kekuasaan dan dihasilkan kesepakatan mengangkat Baddit Dipattung yang bergelar Aji Surya Natakusuma sebagai raja pertama dengan pusat pemerintahan di Banua Lati. Pada perkembangan selanjutnya pemerintahan tersebut dikenal dengan Kerajaan Berau.
Nuansa islami di Kerajaan Berau mulai muncul pada Raja ke IX yaitu Raja Aji Dilayas yang menggantikan Raja Aji Balindung. Nama raja ini pun diabadikan menjadi nama pasar tradisional terbesar di Berau, Pasar Sanggam Aji Dilayas. Raja Aji Dilayas memiliki dua anak dari dua ibu yang berbeda dengan nama Amir yang bergelar Aji Pangeran Tua dan Hasan yang bergelar Aji Pangeran Dipati.
Perkembangan Islam di Kerajaan Berau semakin jelas setelah hukum Islam menjadi dasar hukum kerajaan yang ditetapkan oleh Sultan Zainal Abidin, Raja ke-XIV yang berpusat di Merancang yang saat ini berada pada wilayah pemerintahan Kecamatan Gunung Tabur. Beliau menggalakkan pengetahuan agama Islam di bawah pimpinan Imam Tabrani dan Imam Mustafa. Undang-undang kerajaan dibentuk dan disebut “Pematang Ammas”.
Dari gambaran singkat tersebut, terdapat beberapa pengaruh Islam terhadap kerajaan Berau, di antaranya (1) pemberian gelar sultan pada raja dan nama yang islami, seperti Hasan, Aminuddin, Amir, dll, hal ini berbeda dengan raja-raja pada masa awal yang bercorak Hindu; (2) menyebarkan dakwah Islam melalui peran ulama dan umara; yang dengan kedua tokoh tersebut (3) hukum Islam dapat diterapkan di Kerajaan Berau kala itu.
Muhammadiyah Mencerahkan Berau