ADA pemandangan yang pernah kita saksikan, setiap ke Bandara Kalimarau. Banyak pesawat berbadan lebar, parkir di ujung garbarata.
Ada Garuda, ada Sriwijaya Air, ada Batik Air, ada Lions, ada Kalstar, dan ada Trigana. Pada waktu tertentu, ke semua maskapai itu parkir bersamaan. Dan dari kejauhan, pemandangan itu menarik sekali.
Ruang keberangkatan juga penuh. Kantin juga penuh. Lounge Garuda di lantai satu dan lounge milik Eljhon di lantai dua juga penuh. Potter sibuk bolak-balik membawakan boarding pass pelanggannya yang akan berangkat. Mereka panen, terutama di akhir pekan.
Para Ratu alias raja tulak, sering bertemu di kantin dan di ruang tunggu. Ada yang tujuan hanya sampai Balikpapan atau Samarinda. Ada penumpang lanjutan dari Balikpapan ke Makassar. Ada penumpang lanjutan dari Balikpapan ke Jogjakarta dan Surabaya. Ada yang Bandung dan Jakarta, transit di Banjarmasin.
Melihat jumlah penumpang yang banyak. Batik Air waktu itu membuka penerbangan langsung dari Bandara Kalimarau menuju Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Saya semula berpikir, ada juakah penumpangnya? Ternyata, selalu terisi di atas 70 persen.
Kita tidak pernah membayangkan, bahwa kelak akan dihadapkan pada satu situasi yang bisa dimana semua penerbangan harus melakukan hitungan ulang. Satu situasi, dimana karena keadaan, penerbangan bahkan dihentikan sama sekali.
Dari situlah, beberapa maskapai menghentikan rute penerbangannya ke Bandara Kalimarau. Bukan karena penumpangnya tidak ada. Karena situasi itu tadi. Apalagi pesawat yang dioperasikan, mungkin saja berstatus pesawat sewa. Jadi harus cermat.
Situasi itu pula, yang membawa banyak petugas di darat terpaksa harus dirumahkan, bahkan diberhentikan permanen. Semua infrastruktur milik penerbangan ditarik. Semua infrastruktur milik bandara berhenti bekerja.
Orang kedua yang merasa sedih ketika jumlah penerbangan pesawat, selain calon penumpang, juga pengelola bandara. Banyak sumber pendapatan yang tidak bisa menghasilkan uang. Akibatnya, bandara melakukan pengetatan. Di antaranya penggunaan energi listrik.
Pasca pandemi, sebetulnya warga menantikan bahwa maskapai yang dulu pernah terbang ke Kalimarau, bisa datang lagi. Toh, slot yang dipunyai masih tercatat. Tinggal mengulang saja.
Tak ada yang berkurang drastis. Penumpang juga masih sama seperti dulu. Penumpang yang bekerja di perusahaan. Yang tinggal di Kaltara dan Kutai Timur adalah penyumbang penumpang terbesar.
Dan, hadirlah satu pemain tunggal. Ya namanya tunggal, harga tiket pun mereka yang atur. Salah satu alasan biaya operasional yang lebih besar. Mengapa tidak membawa pesawat berbadan lebar? Itu pertanyaan yang timbul.
Kan tidak mungkin memasukkan pesawat berbadan lebar yang berdampak pada pesawat lain, yang notabene bedingsanak. Kan tidak mungkin nang tuha mematikan adingnya.
Beda kalau yang datang itu berstatus pesaing. Barulah kita bisa mendapatkan fasilitas harga tiket yang kompetitif. Mungkin tujuan Balikpapan akan lebih murah dibanding harga tiket sekarang.