Catatan:
Dwi Restu
Jurnalis Kaltim Post
SEGELAS kopi hitam masih berasap tipis. Sama seperti situasi politik akhir-akhir ini, “panas”. Ditemani gorengan pisang dan tahu isi. Sepintas itu biasa, duduk santai di warung kedai ala kadarnya.
Alih-alih obrolan bapak-bapak jelang siang, itu bukan obrolan sekadar warung kopi. Konteksnya lebih berat, tentang situasi politik Indonesia. Dalam hati, buset. Melihat beberapa pria paruh baya hingga lansia, ada yang memainkan papan catur, ada yang sambil ngobrol soal siapa kira-kira presiden kita. Ada juga yang sudah nguap-nguap.
Rasa-rasanya menarik. Dan sayang percakapan bapak-bapak itu dilewatkan begitu saja. “Siapa pun presidennya, enggak ngaruh buat kita,” celetuk satu pria berambut tipis sedikit botak di belakang. “Ini ‘perangnya’ orang-orang berduit,” sambung dia bernada laiknya putus asa.
Tentu bukan hanya pesta lima tahunannya yang ditunggu-tunggu. Pemilihan kepala negara hingga kabupaten atau kota, kerap dikaitkan dengan serangan fajar, kaus partai, dan golput.
Memang rasa-rasanya susah sekali Indonesia itu lepas dari bayang-bayang menolak money politic. Lebih dikenalnya serangan fajar. Setiap rumah menanti panggilan atau ketukan tetangga, memberi kabar perihal bagi-bagi uang atau sembako. Gaya itu masih cukup dominan digunakan untuk mendapat simpatisan, sekaligus mendapat pesan titipan. Politik uang memang cukup jarang di kontestasi pemilihan presiden, lebih ke calon legislatif (caleg). Jadi kalau awalnya sudah pakai uang, tahu kan berarti ongkos politik itu mahal. Jadi wajar kalau si bapak di warung kopi bilang, pemilu itu ‘perangnya’ orang-orang berduit untuk duduk di singgasana.
Lantas, benarkah praktik itu ada di Samarinda. Memang cukup sulit pembuktiannya. Ini menyebar dari sekadar mulut ke mulut informasinya. Bocoran yang saya dapat, sudah ada beberapa caleg tingkat kota dan provinsi yang pakai gaya seperti itu. Lagi-lagi cukup sulit pembuktiannya. Karena orang yang menerima juga takut buka suara. Banyak cari amannya. Sementara yang bagi-bagi sembako, pernah saya lihat. Seingat saya, setor fotokopi identitas. Ditukar dengan minyak, beras, dan sedikit bahan lainnya. Ya kalau diuangkan nilainya mungkin setara Rp 100 ribuan lah.
Seperti bapak-bapak yang duduk di warung kopi. Celetukannya soal serangan fajar. Ditambah kaus partai. Termasuk golput.
Soal kaus partai, pikiran saya lebih ke soal keuntungan. Ternyata urusan kaus partai juga enggak bisa ditinggalkan. Meski banyak orang beranggapan bahwa kaus itu tipis dan panas. Nyatanya, masih ada yang mempertanyakan.
Nah, yang enggak kalah pentingnya adalah obrolan itu soal golput. Setiap orang memang bebas menentukan sikap dan pilihannya. Namun, tak sedikit pula yang beranggapan bahwa tak terlibat di pesta demokrasi juga sebagai sikap dari pilihan. Perjalanan pemilu tahun ini memang cukup banyak intrik yang menggelitik. Lihat saja saat tim pemenangan menggaungkan masing-masing calon dengan saling sindir. Pun dengan di beberapa debat, yang secara substansial tak tergambarkan secara gamblang gagasannya. Lebih sering ke sindir-sindiran sih.