Pada intinya, penetapan KPU terkait hasil-hasil pemilu nantinya, tentu saja kanalnya tetap berada dalam kamar penyelesaian sengketa hasil melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Tapi ingat, yang memiliki legal standing terbatas hanya pada para calon atau peserta pemilih saja. Sementara publik tidak punya akses secara terbuka. Oleh karena itu, hak angket menjadi salah satu opsi untuk membongkar kecurangan apa saja yang terjadi dalam pemilu ini.
Namun perlu ditegaskan soal batasan kecurangan ini. Tidaklah berfokus kepada angka-angka hasil pemilu. Tetapi dari mana dan bagaimana hasil-hasil itu diperoleh. Apakah diperoleh dengan cara-cara curang atau tidak! Apakah didapatkan melalui tindakan abusive atau tidak! Jika hasil-hasil pemilu itu diselesaikan di MK, maka tudingan hasil-hasil pemilu itu diperoleh dengan cara curang, diselesaikan di DPR melalui penggunaan hak angket.
Oleh karena itu, objek hak angket tetaplah kekuasaan pemerintah. Selain pengawasan, aktivasi hak angket ini sekaligus menjadi penyambung lidah publik yang mengeluhkan banyak hal tentang kecurangan pemilu. Mulai dugaan intervensi terhadap MK yang melapangkan jalan politik dinasti, cawe-cawe presiden untuk memenangkan calon tertentu, hingga praktik politik gentong babi dengan cara memolitisasi bantuan sosial demi meraup suara. Dan jika hak angket ini belum juga diwujudkan, artinya wacana hak angket tidak lebih dari “basa-basi” dari para elite politik! (riz/k8)