Untuk pertama kalinya Rembuk Etam Goes To Campus hasil kolaborasi Ikatan Alumni Universitas Brawijaya (IKA UB) dan Kaltim Post berlangsung. Kekerasan perempuan menjadi tema yang dibahas.
M RIDHUAN, Samarinda
Kasus kekerasan terhadap perempuan ibarat fenomena gunung es. Di Kaltim pun menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Hal ini memantik perhatian Ikatan Alumni Universitas Brawijaya (IKA UB) dan Kaltim Post. Hasilnya, Rembuk Etam pun hadir. Dan untuk pertama kalinya, Rembuk Etam Goes To Campus dilaksanakan di Politeknik Negeri Samarinda (Polnes), Jumat (22/3).
“Ini merupakan kolaborasi ketiga kami dengan IKA UB. Mengangkat tema ‘Mengatasi Kekerasan pada Perempuan: Tantangan dan Solusi’, kami melihat ini sangat penting untuk dibahas karena melihat semakin meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan khususnya di dunia kampus,” ungkap Pemimpin Redaksi Kaltim Post Romdani yang menjadi moderator diskusi.
Menghadirkan sejumlah narasumber berkompeten, Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Noryani Sorayalita menjadi pembicara pertama. Kepada peserta diskusi, dirinya membeber kondisi terkini terkait kondisi kasus kekerasan perempuan. Di mana banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan.
“Faktor tersebut meliputi balas dendam karena sebelumnya berada di posisi korban. Lalu adanya konflik yang tidak diselesaikan hingga faktor biologis atau turunan emosional,” ucap Soraya, biasa disapa.
Memang tidak mudah mendeteksi kasus kekerasan perempuan. Karena pada dasarnya kasus yang terungkap didominasi berdasarkan hasil aduan. Namun perlu diketahui ciri-ciri seseorang menjadi korban kekerasan. Yakni adanya perubahan perilaku jauh dari biasanya, menjadi lebih pendiam, cepat murung dan cemas, menutup diri hingga takut bertemu dengan orang lain atau perilaku kekerasan.
“Sebagai korban, perempuan yang berhadapan dengan hukum harus dilindungi haknya. Mulai dari perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta benda. Hak memberikan keterangan tanpa tekanan sampai hak mendapatkan pendamping,” urainya.
Adapun kasus kekerasan di Kaltim menurut data menunjukkan tren peningkatan dalam lima tahun terakhir. Sejak 2019 sebanyak 623 kasus melonjak hingga 945 kasus pada 2022. Dan di 2023 lalu kasusnya kembali meningkat hingga 1108 kasus. Berdasarkan kabupaten/kota, Samarinda menjadi daerah tertinggi kasus kekerasan dengan 494 kasus sepanjang 2023. Dan terendah di Mahakam Ulu sebanyak 1 kasus.
“Secara persentase, korban kekerasan terbanyak dari anak perempuan, yakni 42,8 persen. Disusul dewasa perempuan 41,2 persen. Lalu anak laki-laki 15,4 persen dan dewasa laki-laki 7,06 persen,” jelasnya.
Menanggapi tingginya kasus kekerasan di Samarinda, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2PA) Samarinda Ibnu Araby menjelaskan jika ini merupakan hasil program edukasi dan sosialisasi yang selama ini sudah dilaksanakan dinasnya. Termasuk membuka layanan pengaduan melalui aplikasi hingga laporan ke UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA).
“Kami juga memiliki forum peduli kekerasan di 59 kelurahan. Hasilnya semakin banyak masyarakat yang berani melaporkan kekerasan termasuk perempuan. Dengan peningkatan kasus ini, semakin banyak yang bisa kami tindak lanjuti hingga tuntas,” ucapnya.