Setali tiga uang, hal serupa juga terjadi dalam pemilihan dekan. Bisa dikatakan setiap kampus mengadopsi konsep 35 persen suara ini ke dalam statute universitasnya masing-masing. Jadi keterpilihan seorang dekan, sangat bergantung jatah suara 35 persen yang dimiliki oleh rektor. Dari sinilah utang piutang politik mulai dipupuk. Dilegitimasi melalui produk hukum dalam bentuk Permenristek Pengangkatan Pimpinan PTN. Produk hukum ini dengan didesain untuk menyandera kampus melalui utang piutang politik.
Pasang Badan
Apa dampak dari utang piutang politik ini? Pertama, tidak ada makan siang gratis (no free lunch). Ungkapan “no free lunch” sendiri pada dasarnya sudah ada sejak tahun 1800-an. Menurut laporan New York Times pada 1872, untuk menarik pelanggan, banyak bar di wilayah Crescent City, New Orleans, Amerika Serikat, yang menawarkan makan siang gratis. Namun meski makanan gratis, pelanggan tetap dikenakan bayaran untuk minuman.
Dari minuman inilah harga makanan disubsidi. Jadi ini permainan harga berkedok makanan gratis. Dalam konteks pemilihan rektor ataupun pemilihan dekan, apakah pemegang suara 35 persen akan memberikan suaranya secara cuma-cuma? Mustahil! Porsi suara 35 persen tentu saja akan ditukar dengan kesetiaan kepada pemberi suara. Atau bisa ditukar dengan apapun yang dikehendaki oleh pemegang suara 35 persen itu. Sebab secara psikologis, seseorang yang membutuhkan suara, rela melakukan apa saja demi suara signifikan 35 persen itu.
Kedua, porsi suara 35 persen akan membuka ruang kendali. Pada akhirnya, menteri di level pemilihan rektor, akan menjadikan porsi suara 35 persen ini sebagai alat kontrol terhadap kampus melalui rektor terpilih. Hal secara mutatis mutandis juga terjadi di level pemilihan dekan, di mana rektor akan menjadikan suara 35 persen ini sebagai pintu masuk untuk mengendalikan pimpinan-pimpinan fakultas.
Jadi pada intinya, kita tidak perlu heran ketika para penerima manfaat suara 35 persen, dalam hal ini rektor maupun dekan, umumnya akan pasang badan terhadap keputusan apapun yang dikeluarkan oleh si pemberi suara. Penerima manfaat suara ini terjebak dengan utang piutang politik yang membuatnya kehilangan nalar sehat. Namun harus dipahami, ini bukan hanya karena diakibatkan aturan tentang hak suara 35 persen semata. Namun juga hilangnya integritas, di mana prinsip telah diobral murah demi jabatan! (riz/k8)