Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
PERSOALAN “rangkap jabatan” atau yang sering diistilahkan sebagai “concurrent positions”, sudah menjadi rahasia umum. Berdasarkan temuan Ombudsman Republik Indonesia, terdapat 397 orang penyelenggara negara/pemerintahan yang terindikasi merangkap jabatan komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan 167 orang di anak perusahaan BUMN pada 2019.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 254 atau sekitar 64 persen, merupakan pejabat kementerian. Sebanyak 112 orang atau sekitar 28 persen merupakan pejabat lembaga non-kementerian, dan sebanyak 31 orang atau sekitar 8 persen merupakan pejabat dari perguruan tinggi. Situasi ini tentu saja memprihatinkan. Sekaligus memberikan semacam “early warning” jika tata kelola pelayanan publik kita masih menyimpan banyak persoalan.
Salah satunya soal rangkap jabatan ini. Dampaknya, pelayanan publik kita menjadi tidak sehat. Anehnya, kendati pun dampak dari rangkap jabatan ini begitu besar, namun tidak sedikit orang yang tetap permisif bahkan menganggapnya hal yang lumrah.
Godaan
Godaan terhadap rangkap jabatan ini, lahir dari beragam variabel. Pertama, ketiadaan aturan yang tegas mengenai rangkap jabatan ini. Aturan di tingkat sektoral, pada dasarnya sudah cukup mengakomodasi soal larangan rangkap jabatan ini. Namun terkesan masih sekadar “gimik” semata. Sebab belum secara konsisten diterapkan, termasuk di dalam kampus. Dalam ketentuan Pasal 17 Huruf a Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Pelayanan Publik) misalnya, menegaskan bahwa, “pelaksana dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah”.
Pelaksana sendiri diuraikan secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 1 Ayat (5) UU Pelayanan Publik, sebagai pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik. Artinya, siapa pun yang masuk dalam definisi pelaksana ini, dilarang untuk rangkap jabatan. Kedua, tidak adanya keteladanan.
Ibarat anak ayam kehilangan induk, kita kehilangan keteladanan dari pemimpin dalam soal rangkap jabatan ini. Alih-alih birokrasi dan pejabat kampus, bahkan setingkat presiden pun cenderung permisif terhadap rangkap jabatan ini. Kalau kita perhatikan secara saksama, begitu banyak pejabat di sekeliling istana yang rangkap jabatan. Baik yang rangkap jabatan di BUMN, penjabat kepala daerah, memimpin kementerian non-lembaga, bahkan termasuk menteri-menteri yang belum rela melepas posisi-nya sebagai ketua partai politik.
Pihak yang terlibat pun cukup beragam, mulai dari menteri, ASN terutama petinggi TNI dan Polri, bahkan hingga pejabat yang berasal dari kampus. Maka tidak mengherankan jika praktik rangkap jabatan di dalam kampus juga tumbuh subur. Karena selama ini, para pemimpin dari tingkat atas hingga ke bawah, bersikap permisif terhadap rangkap jabatan ini. Kampus yang seharusnya menjadi benteng penjaga nilai-nilai moralitas (moral value), justru juga terkooptasi dengan kebiasaan buruk rangkap jabatan ini.