Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
DI DUNIA maya, sedang viral mengenai kisah pilu seorang mahasiswa. Menjual cincin ibunya demi menyiapkan suguhan untuk dosen penguji sidang skripsi-nya. Dikisahkan seorang ibu rela menjual cincin hanya agar anaknya bisa memberikan suguhan bagi para dosen penguji ujian skripsinya.
Beragam respons yang muncul. Bahkan tidak jarang yang nyinyir dan menyepelekan kisah ini. Ada yang menyebut kisah ini serupa dengan drama Korea, ada juga yang beranggapan kisah ini semacam framing yang menyudutkan para dosen, hingga ada yang berpandangan jika suguhan makanan semacam ini saat ujian (nasi kotak, snack, buah-buahan dan lainnya), adalah hal yang lumrah dan wajar.
Baca Juga: Tambang Rakyat Bukan Solusi, Herdiansyah: Jangan Coba-Coba Legalkan Kejahatan
Namun di antara kelompok yang “nyinyir”, tidak sedikit yang resah dengan situasi ini. Suguhan nasi kotak dan sejenisnya ini dianggap sebagai bentuk gratifikasi, praktik yang mengancam integritas akademik di kampus. Tidak hanya membebani mahasiswa secara finansial, tapi juga merusak konsentrasi saat ujian. Pertanyaannya adalah, benarkah suguhan nasi kotak dan sejenisnya ini adalah bentuk gratifikasi?
Nasi Kotak
Darimana musabab nasi kotak disebut sebagai bentuk gratifikasi? Pertama, secara normatif, setiap dosen dilarang menerima pemberian mahasiswa dalam bentuk apapun. Hal ini akan memengaruhi penilaiannya secara objektif. Dalam Surat Edaran (SE) Nomor 108/B/SE/2017 tentang Larangan Menerima Hadiah, yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pembelajaran Dan Kemahasiswaan, Kementerian Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi, disebutkan secara eksplisit mengenai larangan dosen menerima hadiah atau gratifikasi dalam bentuk apapun.
Dalam ketentuan poin 2 SE tersebut, dijelaskan bahwa, “untuk menjaga integritas hubungan pedagogis antara dosen dan mahasiswa, serta integritas proses akademik, dosen dilarang menerima dan/atau meminta hadiah, gratifikasi, atau pemberian apapun dari mahasiswa atau siapapun yang berhubungan dengan tugasnya sebagai dosen”. Sebaliknya, mahasiswa juga dilarang memberi hadiah, gratifikasi, atau pemberian dalam bentuk apapun kepada dosen dengan alasan apapun.
Kedua, nasi kotak dan sejenisnya itu, jelas adalah bentuk gratifikasi. Dibolak-balik bagaimanapun, tetap lah gratifikasi. Jika merujuk pada definisi standar, gratifikasi dapat dipahami sebagai bentuk pemberian dalam “arti luas”, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Oleh karena itu, suguhan nasi kotak dan sejenisnya itu, adalah bentuk konkret praktik gratifikasi di kampus. Ketiga, memang ada gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan. Oleh karenanya, dianggap hal yang biasa. Tapi jangan lupa, dalam ketentuan Pasal 5 huruf f Permendikbud Nomor 29 Tahun 2019 tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, disebutkan bahwa salah satu bentuk gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan adalah pemberian hidangan atau sajian yang berlaku umum. Apakah sajian nasi kotak dan sejenisnya itu berlaku umum? Tidak!
Integritas Akademik