Kisah pilu Haruna dan warga Amborawang Darat lainnya, adalah potret buram dari dampak buruk industri pertambangan yang tak jarang mengorbankan masyarakat kecil. Warga terjebak dalam situasi sulit. Saat meminta keadilan, dicap menghalang-halangi.
Muhammad Rifqi Hidayatullah, Samboja
Prokal.co - HARUNA (42), warga RT 01, Kelurahan Amborawang Darat, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara (Kukar), gelisah melihat tanah di belakang rumahnya yang berbatasan langsung dengan area tambang batu bara mulai terkikis sedikit demi sedikit.
Firasat buruknya terbukti ketika beberapa saat kemudian, ia menerima telepon yang mengabarkan rumahnya telah runtuh.
"Saya langsung naik ke atas, ternyata benar rumah saya sudah ambruk. Bangunan bawah dan atas hilang semua, tinggal bangunan utama saja," ujar Haruna dengan suara bergetar kepada Kaltim Post, Selasa (28/5).
Bukan hanya satu, tapi tiga bangunan yang dia sebut sebagai "rumah", lenyap ditelan longsor. Longsor ini diduga kuat akibat aktivitas tambang batu bara yang berjarak kurang dari 100 meter dari tempat tinggalnya, bahkan begitu dekat dengan jalan umum.
"Kami sudah lama mengeluhkan keberadaan tambang ini. Debu, bising, mereka bekerja 24 jam tanpa memikirkan warga di sini," keluhnya. "Kami kesulitan air bersih, terutama saat musim kemarau. Debu dari tambang juga masuk ke rumah kami," imbuhnya.
Haruna dan keluarganya kini mengungsi di rumah kontrakan yang disediakan oleh perusahaan tambang. Namun, lokasi rumah kontrakan tersebut berada di tengah area tambang, dengan akses jalan yang belum memadai.
"Rasanya seperti tinggal di tengah hutan," ungkapnya getir. Konflik antara Haruna dan perusahaan tambang sebenarnya sudah berlangsung sejak November 2023.
Keluarga menuntut ganti rugi atas kerusakan rumah mereka akibat getaran dari aktivitas tambang. Namun, mediasi yang difasilitasi pihak kelurahan belum menemukan titik temu.
"Awalnya mereka minta Rp 1 miliar, tapi perusahaan menurunkan jadi Rp 700 juta. Keluarga tidak mau," jelas Sakirman, lurah Amborawang Darat. "Setelah rumahnya runtuh, mereka menuntut Rp 10 miliar.
Perusahaan sebenarnya sudah mau bayar Rp 2,5 miliar, tapi karena telanjur runtuh, keluarga minta lebih." Perusahaan tambang diberi waktu satu minggu untuk memberikan jawaban atas tuntutan keluarga. Haruna mengaku sudah lelah diulur-ulur. Ia merasa haknya dan keluarga diabaikan, apalagi dengan keselamatan yang terancam.
"Kami ingin ganti rugi yang sesuai dengan kerugian kami. Kami sudah lelah," tegas Haruna.
Sementara itu, aktivitas tambang masih terus berjalan. Sakirman mengungkapkan, kekhawatirannya bahwa jika penggalian terus dilakukan, jalan umum yang berdekatan dengan area tambang bisa ikut longsor.