Oleh : Herdiansyah Hamzah
Surat edaran rektor Universitas Islam Indonesia (UII) yang meminta agar gelar akademiknya tak dicantumkan dalam berbagai dokumen, menuai beragam reaksi. Bahkan melalui salah satu akun media sosial pribadinya, ia meminta untuk tidak lagi dipanggil dengan sebutan “Prof ”.
Selain sebagai upaya “desakralisasi” jabatan guru besar, hal tersebut juga merupakan wujud perlawanan atas komersialisasi profesor terhadap kalangan non-akademis. Sebenarnya ada dua konteks atas sikap ini.
Pertama, investigasi majalah tempo yang menemukan 11 orang dosen Universitas Lambung Mangkurat yang menjadi guru besar lewat jalan pintas. Kedua, sejumlah politisi yang juga terobsesi dengan professor.
Sebut saja Sufmi Dasco Ahmad, politikus Gerindra dan wakil ketua DPR RI yang baru dinobatkan jadi profesor dua tahun lalu. Ataupun Bambang Soesatyo, politikus Golkar dan ketua MPR RI, yang sedang mengajukan gelar profesor ke Kementerian pendidikan, kebudayaan, riset, dan teknologi (Kemendikbud Ristek) .
Kritik Profesor
Apa sesungguhnya “professor” itu? Dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan dosen (UU Guru dan Dosen), disebutkan bahwa, “Guru besar atau profesor yang selanjutnya disebut profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi”.
Jadi pada prinsipnya, profesor itu adalah jabatan akademik. Hal ini dipertegas dalam ketentuan Pasal 48 ayat (2) UU Guru dan Dosen, juncto Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang menyebutkan bahwa, “Jenjang jabatan akademik dosen-tetap terdiri atas asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor”.
Oleh karena profesor adalah jabatan akademik, maka seharusnya hanya melekat saat seseorang menjalankan tugas-tugas akademik yang diembannya. Namun faktanya, profesor seolah sudah menjadi kelas sosial baik di dalam maupun di luar kampus. Sebutan profesor telah membangun jarak antar sesama sivitas akademika.
“Feodalisme” dipupuk dan ditumbuhkan atas nama jabatan tertinggi dalam dunia akademik ini. Problem utamanya bukan lagi sebatas pemahaman tentang apa profesor itu. Tapi bagaimana memperlakukan jabatan akademik ini.
Kini, jabatan profesor sekedar dianggap sebagai prestise dibanding sikap teguh menjalankan amanah. Jabatan profesor membuat orang “gelap mata”. Tidak sedikit yang menenteng dan memamerkan jabatan profesornya kemana-mana. Bahkan marah hingga ke ubun-ubun hanya karena seseorang lupa menuliskan kata “Prof” di depan namanya.
Padahal sebagai seorang profesor, seseorang harus menjadi barometer bagaimana “integritas akademik” itu bekerja dan dijaga dengan sebaik-baiknya. Seorang profesor harus memberi contoh bagaimana kerja-kerja kemanusiaan dijalankan. Ilmu pengetahuannya harus dipergunakan untuk melakukan pembelaan kepada mereka yang dianiaya oleh sistem yang menindas.
Karena itulah profesor dituntut untuk terus me-reproduksi pengetahuan yang bermanfaat bagi umat manusia, ditagih untuk menjadi barisan terdepan dalam membela keadilan dan kebenaran. Intinya, kegilaan seorang profesor harusnya kepada tugas dan tanggung jawabnya kepada alam semesta, bukan pada panggilan “Prof”. Kehormatan seorang profesor mestinya ada pada pengabdiannya kepada umat manusia, bukan pada kekuasaan!
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.
Sumber: prokal.co