• Senin, 22 Desember 2025

Suap Menyuap Dalam Palu Keadilan: Membongkar Peran Hakim Dalam Sorotan Kode Etik

Photo Author
- Selasa, 26 November 2024 | 22:05 WIB

Oleh : Risky Arum Sejati

Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman 

 

Meja hijau persidangan merupakan tempat untuk berupaya mencari keadilan dan serta mendapatkan keadilan bagi pihak yang tercedrai haknya. Besar harapan ketika sebuah perkara disidangkan mendapatkan hasil yang dapat memulihkan hak yang telah hilang. Di Indonesia lembaga peradilan adalah lembaga yang bergerak dibidang kekuasaan Yudikatif.

Seperti yang kita ketahui bahwa kekuasaan terbagi atas 3 yaitu Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Lembaga yudikatif adalah salah satu lembaga dalam sistem kekuasaan negara yang bertanggung jawab untuk menegakkan hukum, memberikan keadilan, dan memutuskan perselisihan hukum.

Berdasarkan hal tersebut, terdapat garda terdepan yang seharusnya berperan sebagai penegak hukum dan pemberi keadilan yaitu Hakim. Dalam Pasal 19 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang” sementara, kekuasaan Kehakiman dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (1) bahwa “Kekuasaan kehakiman ekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.”

Hakim memegang peran yang sangat penting dalam peradilan, karna hakimlah yang akan memutus suatu perkara. Hakim juga sering disebut sebagai Perpanjangan Tangan Tuhan, hal itu juga selaras sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa “Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Berdasarkan hal tersebut penting untuk meninjau bagaimana seharusnya seorang Hakim menjalankan tugas serta wewenangnya.

Kode Etik dan Pedoman Prilaku Hakim telah dibentuk oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 – 02/SKB/P.KY/IV/2009. Pengaturan dalam Kode Etik ini Meliputi 10 hal mulai dari Berprilaku Jujur hingga Bersikap Profesional.

Lalu bagaimana dengan tindak suap menyuap yang dilakukan oleh hakim?

Suap menyuap merupakan salah satu tindak pidana yang sering kita dengar. Dalam terminologi hukum, suap didefinisikan sebagai “pemberian atau janji kepada seorang penyelenggara negara atau pegawai negeri yang berhubungan dengan jabatannya,” demikian dikutip dalam buku Delik-Delik Korupsi (2020) karya Mahrus Ali dan Deni Setya Bagus Yuherawan. Undang-Undang Nomor 31 Nomor tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyederhanakan korupsi dalam tujuh kelompok, antara lain menyebabkan kerugian negara, suap menyuap, gratifikasi, benturan kepentingan dalam pengadaan barang/jasa, pemerasan, perbuatan curang, dan penggelapan dalam jabatan.

Kata “suap” pada awalnya merujuk pada sejumput makanan, seperti nasi atau roti, yang dimasukkan ke dalam mulut. Namun, seiring berjalannya waktu, makna kata ini berkembang jauh dari konteks makanan. Dalam penggunaannya yang lebih luas, “suap” kini merujuk pada tindakan pemberian sesuatu, biasanya berupa uang atau barang berharga, dengan tujuan untuk mempengaruhi keputusan atau tindakan seseorang, terutama dalam konteks yang melibatkan otoritas atau kekuasaan. Praktik ini menjadi bagian dari perbuatan kriminal, karena sering kali berkaitan dengan pelanggaran hukum dan etika, seperti dalam kasus korupsi, di mana suap digunakan untuk mendapatkan keuntungan yang tidak sah. Sehingga, meskipun asal-usul kata ini berhubungan dengan hal yang sangat sederhana seperti makanan, kini ia menggambarkan salah satu bentuk ketidakjujuran dan penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan masyarakat.

Dalam konteks dunia hukum, suap biasanya dilakukan agar penyuap menang dalam berperkara atau agar terbebas dari suatu hukuman atau proses hukum. Melihat maksud-maksud praktik-praktik suap demikian, maka tidaklah mengherankan, bahwa yang paling banyak di suap adalah para pejabat di lingkungan birokrasi pemerintah atau siapa pun yang mempunyai kekuasaan tertentu. Dalam konteks peradilan, aktor yang memiliki kewenangan dalam memutus sebuah perkara adalah hakim. Maka, hakim menjadi posisi yang paling rentan dalam ditawari&/menerima suap yang ditujukan untuk meringankan dan atau membebaskan seseorang dalam suatu perkara.

Beberapa waktu lalu cukup ramai diperbincangkan mengenai putusan hakim yang kontroversial dalam perkara Ronald Tannur yaitu tindak penganiyayaan yang menyebabkan kematian divonis bebas oleh majelis hakim. Hakim tersebut diantaranya Hakim ketua Erintuah Damanik, Hakim anggota Mangapul dan Heru Hanindyo pada 24 Juli 2024.

Namun, Untungnya Kasasi yang diajukan oleh Jaksa Kejari Surabaya diterima dan dikabulkan oleh MA pada 22 Oktober 2024 dengan hasil membatalkan putusan bebas Ronald Tannur. MA menghukum Ronald Tannur dengan pidana penjara lima tahun. Adapun perkara nomor 1466/K/Pid/2024 diadili oleh ketua majelis Soesilo bersama 2 anggota majelis, Anilai Mardhiah dan Sutarjo.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Indra Zakaria

Sumber: prokal.co

Rekomendasi

Terkini

X