Studi terbaru yang dilakukan oleh tim peneliti dari Universitas Sebelas Maret, Surakarta, mengungkap tantangan nyata pengentasan kemiskinan di Kalimantan Timur. Penelitian berjudul Mitigation of Regional Poverty in East Kalimantan: A Village Level Panel Data Analysis menyimpulkan bahwa berbagai faktor—mulai dari geografis, akses teknologi, hingga efektivitas lembaga publik—masih menjadi hambatan utama dalam menurunkan angka kemiskinan di tingkat desa.
Riset yang dipimpin oleh Lukman Hakim ini menganalisis data dari 1.039 desa di Kalimantan Timur menggunakan pendekatan panel data. Data bersumber dari Potensi Desa (Podes) tahun 2021 dan diolah dengan metode regresi panel. Hasilnya memperlihatkan bahwa desa-desa yang berada dekat laut cenderung memiliki tingkat kemiskinan yang lebih rendah dibanding desa yang terletak di sekitar hutan.
Baca Juga: Skoring Keamanan Kota Balikpapan: Balikpapan Tengah Terbaik, Balikpapan Selatan Terburuk
“Faktor kedekatan dengan laut membuka peluang ekonomi yang lebih besar, seperti perikanan dan perdagangan pesisir. Sebaliknya, desa-desa yang dikelilingi hutan seringkali terkendala akses jalan dan fasilitas dasar,” ujar Lukman Hakim dalam penjelasannya.
Penelitian ini mengelompokkan analisis ke dalam tiga model: geografis, teknologi, dan kelembagaan. Dalam aspek geografis, bentuk wilayah seperti lereng atau lembah tidak menunjukkan pengaruh signifikan, tetapi keberadaan hutan menjadi indikator penting meningkatnya risiko kemiskinan.
Model teknologi menghasilkan temuan yang cukup mengejutkan. Akses listrik dan penerangan jalan umum justru berkorelasi positif dengan tingkat kemiskinan. Hal ini kemungkinan terjadi karena tingginya biaya pemanfaatan infrastruktur tersebut di kawasan terpencil. Sebaliknya, penggunaan bahan bakar minyak sebagai sumber energi alternatif menunjukkan korelasi negatif—semakin banyak digunakan, semakin rendah tingkat kemiskinannya.
“Data kami menunjukkan bahwa keberadaan infrastruktur belum otomatis memberi dampak positif, terutama bila aksesnya tidak merata atau biayanya membebani masyarakat,” kata Lukman.
Sementara itu, dalam aspek kelembagaan, keberadaan lembaga ekonomi seperti koperasi dan bank tidak berdampak signifikan terhadap penurunan kemiskinan. Hal ini kemungkinan dipengaruhi rendahnya literasi keuangan serta akses masyarakat desa terhadap layanan keuangan formal. Anehnya, kehadiran lembaga pendidikan dan kesehatan justru berhubungan positif dengan tingkat kemiskinan.
“Kami tidak menyimpulkan bahwa pendidikan dan kesehatan memperburuk kemiskinan. Tapi temuan ini menunjukkan adanya masalah aksesibilitas—baik dari segi kualitas pelayanan, jarak, maupun keterjangkauan biaya,” jelas Lukman.
Penelitian ini memberikan rekomendasi konkret kepada pemerintah daerah dan nasional. Salah satunya adalah memperluas cakupan program perlindungan sosial seperti Jamkesmas dan Jampersal. Selain itu, kurikulum pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan pasar kerja lokal, termasuk memperkuat pendidikan kewirausahaan di daerah.
Di tengah transisi besar berupa pemindahan ibu kota negara ke wilayah Kalimantan Timur, tim peneliti juga menyoroti dampak struktural yang bisa timbul. Pemindahan ibu kota dapat menciptakan peluang kerja baru, namun juga berpotensi meningkatkan tekanan terhadap layanan dasar jika tidak dikelola dengan baik.
“Kami melihat bahwa pergeseran ke sektor padat karya bisa membantu menekan angka kemiskinan. Namun perlu mitigasi terhadap arus migrasi dan tekanan terhadap infrastruktur,” tambahnya.
Lebih lanjut, penelitian ini menyarankan perlunya pendekatan berbasis spasial dalam perumusan kebijakan pengentasan kemiskinan. Setiap wilayah memiliki karakteristik geografis dan sosial yang berbeda, sehingga kebijakan tidak bisa bersifat seragam. Kebijakan publik yang sensitif terhadap kondisi lokal akan jauh lebih efektif dalam mengatasi ketimpangan pembangunan.