Beberapa hari terakhir, ia masih menyaksikan nelayan-nelayan mengantre berhari-hari di APMS. “Kapan melautnya? Itu yang menjadi pembahasan, tapi tidak selesai. Sekarang kita ngomong, ada minyak lebih. Nah, kondisinya mengapa orang antre berhari-hari kalau ada minyak lebih,” tanyanya.
Jika memegang pengakuan DPPP Tarakan yang mengatakan kuota BBM masih lebih banyak dari rekomendasi, saran dia permintaan nelayan sebaiknya dipenuhi.
“Kalau memang lebih, disalurkan saja. Misalnya bawa rekomendasi 1.200 per bulan, saat mau melaut misalnya butuh 400, dikasih saja 400-nya. Kan bahasanya seperti itu, jumlah rekomendasi masih lebih kecil dari kuota. Dikasih saja. Berapa yang diminta nelayan, segitu yang diberikan. Sejauh tidak melewati jatah setiap bulannya,” saran pria yang juga ketua Forum Komunikasi Ketua Rukun Tetangga (FKKRT) Tarakan ini.
Jumlah nelayan di Tarakan juga tidak diketahui pasti. Sejumlah instansi hanya saling klaim mengantongi data nelayan. Namun, ketika dibandingkan dengan data lain, justru muncul perbedaan yang mencolok.
“Kita pakai data siapa? Berapa nelayan? Masih idealkah jumlah BBM jenis solarnya? Karena ini berhari-hari di APMS, belum melautnya. Pekerjaan nelayan saat ini bukan melaut, tapi mengantre. Antrean menghambat produktivitas nelayan. Saran saya lainnya, daripada pembahasannya berlarut enggak selesai, coba diselesaikan dulu data jumlah nelayan. Bukankah semuanya butuh BBM,” harapnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Pemkot berkali-kali menyampaikan jika kuota jenis solar saat ini sebanyak 600 KL. Yang diserap berdasar rekomendasi hanya 426 KL setiap bulannya. Atau masih tersisa 174 KL.
Pertamina juga mengklaim tak menemui kendala distribusi ke dua stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). SPBU Kusuma Bangsa dijatah 220 KL setiap bulan, sedang SPBU Mulawarman sebanyak 190 KL setiap bulannya. Kuota ini tidak termasuk 600 KL yang disalurkan ke seluruh APMS dan SPBB. (lim)