Adapun cara kerja PLTSa yang akan digunakan nanti ialah sampah yang didapat akan dimasukkan ke dalam plasma kemudian akan diolah menjadi pembangkit listrik. Akan tetapi, lokasi PLTSa belum diputuskan oleh pihak Pemkot. “Nanti Tarakan sudah tidak perlu TPA lagi kalau ini (PLTSa) dibangun, karena sampahnya akan habis,” imbuhnya.
Menurut Direktur Kampus Hijau Lembaga Penelitian Pengembangan dan Pelatihan (LP3TIDI) Kota Langsa Dr. Ishenny M. Noor, bahwa teknologi karbonisasi pada PLTSa merupakan bukanlah teknologi.
“Jadi sampah itu diolah dengan sistem radiasi panas sehingga terjadi dekomposisi sampah menjadi karbon, menjadi pupuk karbon cair untuk pertanian dan menjadi asam cair sebagai biopestisida untuk pertanian,” tuturnya.
Ishenny menjelaskan bahwa pada dasarnya karbon dapat digunakan untuk menyuburkan tanah. Namun jenis karbon tersebut bukanlah sebuah pupuk, sebab yang menjadi persoalan utama masyarakat kaum petani di Kota Tarakan saat ini ialah kualitas tanah yang buruk, sehingga untuk memperbaiki kualitas tanah tersebut ialah dengan memberikan karbon dari sampah.
“Karbon ini nantinya akan dikerjasamakan dengan petani, kemudian peningkatan hasil kerjasama itu tinggal bagi hasil dengan kami atau Pemkot Tarakan dan kami akan mem-back up teknologinya,” jelasnya.
“Itu namanya program karbonisasi untuk pertanian termasuk perikanan darat seperti tambak udang dan bandeng, saya pikir di Tarakan dua komoditi ini paling berpengaruh, sehingga ini bisa membetulkan kembali struktur tanah di tambak,” sambungnya.
Selama ini, Indonesia kekurangan karbon di tanah, sehingga lebih sering melakukan treatment pada budi daya. Misalnya nutrisi tanah yang kurang harus diberi pupuk, sehingga setiap tahun akan meningkat dosisnya untuk mempertahankan produksi di tahun sebelumnya, sehingga dipercaya akan meningkatkan cost pedagang. “Jadi tidak terkaver, sehingga petani bukannya untung, tapi justru ngutang,” katanya.
Langkah pertama yang akan dilalui pihaknya ialah program tambak udang yang akan dilakukan pada April 2019 bersama petani tambak. Jika Pemkot ingin melakukan pengelolaan tambak sistem karbonisasi, maka peluang pasar untuk karbon itu sudah ada di petani tambak.
Dalam kasus pertanian, sistem karbonisasi dapat meningkatkan hasil panen dari 5 ton menjadi 10 ton, mampu menurunkan masa umur panen dari 102 hari menjadi 98 hari serta meningkatkan rumpun padi dari 15 batang menjadi 45 batang per rumpun padi.
Sementara itu, estimasi pihaknya akan menghasilkan udang sekitar 25 biji per kilogram, mengurangi penyakit udang dan meningkatkan produksi udang.
“Masalah petani tambak itu seperti bermain gim, sekali kena, 10 kali nggak kena. Soalnya petani udang tidak punya pengetahuan tentang pemeliharaan udang dan ikan, jadi teknologi ini akan diterapkan di masyarakat,” imbuhnya. (*/shy/lim)