Tentu, hal ini akan memengaruhi capaian realisasi pada sektor retribusi yang sudah ditargetkan tahun ini. Dalam hal penundaan penerapan Perda 11/2019 itu, pihaknya juga meminta bukti tertulis sebagai pegangan untuk mengantisipasi munculnya permasalahan di belakang hari saat BPK melakukan pemeriksaan.
“Jadi berita acara hasil kesepakatan RDP yang dilakukan di DPRD Kaltara itu yang kami jadikan dasar nantinya saat ini dipertanyakan oleh BPK. Karena sesuai ketentuannya, begitu ditetapkan, perda itu harus sudah dijalankan,” jelasnya.
Adapun jika perda yang sudah disahkan itu tidak dijalankan, tentu akan menjadi pertanyaan dari BPK nantinya. Misalnya amanat perda itu tidak dijalankan selama 5 hari tanpa alasan atau dasar yang pasti, secara otomatis retribusi yang tidak ditarik sesuai amanat dari dasar hukum itu akan dihitung sebagai kerugian negara.
“Jadi, misalnya dalam sehari itu ada Rp 1 miliar yang tidak tertarik. Maka tinggal dikalikan 5 hari, sehingga jadi Rp 5 miliar. Nah, ini yang kami hindari sebenarnya makanya kami minta bukti tertulis sebagai pegangan,” jelasnya.
Artinya, setiap aturan yang sudah disahkan, itu tidak bisa tidak dijalankan jika tidak ada dasar yang menguatkan. “Jangan sampai saat diperiksa BPK, nanti saya yang kena karena dianggap tidak menjalankan aturan yang sudah berkekuatan hukum tetap,” sebutnya.
Dijelaskannya, dalam hitungan, realisasi dari target ini akan dilihat per triwulan, yang mana untuk triwulan I itu target realisasinya 20 persen, triwulan II sebesar 40 persen, dan triwulan III sebesar 75 persen.
Jadi, dari target ini nanti akan dilihat, jika hingga triwulan III realisasi dari target itu tidak mencapai 75 persen, maka di APBD Perubahan akan dilakukan perubahan (pengurangan) target agar di akhir tahun tercapai.
“Intinya kami di sini hanya pelaksana aturan. Artinya apa yang sudah ditetapkan itulah yang kami jalankan. Kapan itu tidak kami jalankan, maka kami yang akan menanggung risikonya nanti,” pungkasnya. (*/zac/iwk/lim)