NUNUKAN – Budidaya rumput laut sebagai usaha masyarakat yang bermukim di pesisir pantai. Sekaligus peluang mendapatkan untung yang besar juga bisa dirasakan oleh para petani ataupun pebisnis kecil.
Tak terkecuali bagi masyarakat Nunukan, untuk mengembangkan budidaya rumput laut kian tinggi. Terlebih, beberapa bulan belakangan, harga rumput laut mengalami kenaikan hingga di kisaran Rp 38 ribu per kilogram. Hal itupun membuat masyarakat memasang sejumlah pondasi di area tengah laut, yang notabene merupakan jalur pelayaran.
Akibatnya, jalur pelayaran kian menyempit. Speedboat maupun kapal reguler harus menyingkir dan berputar jauh, untuk menghindari keberadaan tanaman rumput laut tersebut. Ketua Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) Nunukan Kamaruddin mengakui, kondisi itu berpotensi gesekan dan keributan sosial antara pembudidaya rumput laut dan para motoris speedboat maupun kapal.
“Saya sudah mendengar kapal besar seperti Thalia melaporkan masalah jalur menyempit ke KSOP. Speedboat rute Nunukan–Tarakan juga harus mencari jalur sendiri, karena di bagian tengah tertutup rumput laut,” ujarnya, Selasa (9/8).
Sebelum masyarakat beramai-ramai membangun pondasi rumput laut. Warga Nunukan bisa menghitung berapa jumlah orang yang ada di luar speedboat maupun kapal. Sementara saat ini, posisi speedboat maupun kapal semakin jauh dari pinggir pulau. Bahkan dari atas kapal, bisa dilihat keberadaan sejumlah pondasi rumput laut.
“Seharusnya dalam sebulan paling tidak hanya dua pondasi penambahan. Karena menurut perhitungan, air surut hanya terjadi dua kali dalam sebulan,” tuturnya.
Akan tetapi, ternyata sangat banyak penambahan. Bahkan hingga ke tengah laut. Hal tersebut pun berimbas semakin kecil jalur pelayaran. Kamaruddin meminta pemerintah daerah segera menetapkan zonasi budidaya rumput laut. Agar para pembudidaya paham batas zona yang dilarang.
Masyarakat pun sebaiknya lebih mempertimbangkan situasi, jika ingin menambah atau memasang pondasi rumput laut. Sebab, jika ada penetapan zona, dipastikan akan banyak pondasi yang digusur. Jika itu terjadi, masyarakat yang rugi. Mengingat, modal untuk memasang pondasi rumput laut tidaklah murah.
“Sekarang, satu pondasi saja bisa mencapai Rp 70 jutaan. Kalau dulu masih murah kisaran Rp 20 jutaan. Itu yang perlu menjadi pertimbangan juga,” ungkapnya.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kaltara Rukhi Syayahdin mengakui, indikasi gesekan di laut akibat alur pelayaran tertutup rumput laut berpotensi terjadi.
Dari sekian banyaknya ancaman keamanan di laut, yang menjadi perhatian khusus DKP Kaltara. Paling urgent, tertutupnya lajur pelayaran yang mulai memanas. Rukhi menjelaskan, persoalan zonasi budidaya rumput laut sebenarnya menjadi isu lama yang terus berkembang dan meninggalkan masalah tidak ringan.
Jika ditanyakan terkait regulasi, ada kendala dan kesulitan tersendiri. Karena seringnya muncul undang-undang baru. Yang membuyarkan konsep DKP, sebelumnya mengacu pada undang-undang lama.
“Historinya, budidaya rumput laut di Kaltara mulai berkembang 2010. Saat itu belum ada otonomi daerah dan kewenangan kelautan dan perikanan masih ada di kabupaten. Ketika muncul UU otonomi daerah Nomor 23 Tahun 2014, yang menarik kewenangan itu ke Pemerintah Provinsi, regulasi mulai berubah,” bebernya.
Tahun 2014 silam, menjadi tahun pertama Pemprov Kaltara berjalan. Terhadap organisasi perangkat daerah (OPD) baru terbentuk dan harus meramu ulang regulasi rumput laut. Pemetaan dan strategi kembali diubah dan diperbaharui. Sampai akhirnya muncul Perda Nomor 4 Tahun 2018 tentang zonasi budidaya rumput laut, pemanfaatkan ruang laut, kegiatan pengawasan perikanan, dan lain lain kewenangan provinsi.