Ruang digital telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi anak dan remaja. Namun, di balik kemudahan berbagi dan berinteraksi, tersembunyi sisi gelap yang kerap luput dari perhatian, yakni cyberbullying. Perilaku ini bisa terjadi tanpa batas waktu dan tempat.
Oleh: Siti Sulbiyah
Serial terbaru Netflix berjudul Adolescence, yang tayang perdana pada 13 Maret 2025, berhasil mencuri perhatian penonton global berkat pendekatan sinematiknya yang kuat serta penggambaran tema sosial yang mendalam, termasuk isu sensitif seperti cyberbullying.
Serial ini mengangkat kisah tragis Jamie Miller, seorang remaja yang membunuh teman sekelasnya, Katie Leonard, setelah menjadi korban perundungan dunia maya. Diceritakan, Katie dan sejumlah teman sekelas sering mengejek Jamie lewat media sosial menggunakan kode emoji dan bahasa sandi. Meskipun terlihat seperti candaan sepele, ejekan tersebut memberi dampak psikologis serius bagi Jamie, hingga akhirnya berujung pada tragedi.
Baca Juga: Kesehatan Mental Anak di Era Digital, Tantangan dan Strategi bagi Orang Tua
Cerita ini menjadi refleksi nyata bagaimana dunia digital, jika tidak digunakan secara bijak, dapat menjadi ruang kekerasan yang merusak mental, khususnya bagi anak dan remaja.
Terkait kemungkinan korban melakukan aksi balas dendam seperti yang digambarkan dalam Adolescence, Wakil Ketua Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia Wilayah Kalimantan Barat, Sarah, S.Psi., M.Psi., Psikolog mengatakan bahwa hal tersebut bersifat sangat kasuistik. Menurutnya, tidak semua korban memiliki respons yang sama.
“Orang-orang yang sudah menjadi korban, sedikit sekali yang bisa bangkit sampai pada tindakan balas dendam. Kalaupun bangkit, itu bukan menyelesaikan masalah,” tuturnya.
Balas dendam semacam ini menurutnya Justru bisa menjadikan mereka pelaku baru, baik terhadap orang yang merundung maupun terhadap orang lain yang tak terkait. Korban dalam hal ini menjadi pelaku kedua perundungan bagi orang lain sebagai pelampiasan.
Ia menekankan pentingnya mencegah agar korban tidak menjadi pelaku kedua. Hal ini penting dipahami karena aksi kekerasan balasan hanya memperpanjang rantai kekerasan yang ada.
Alumnus Magister Profesi Psikolog UGM tersebut mengatakan perundungan adalah tindakan agresif yang merendahkan seseorang, di mana terdapat ketimpangan relasi. “Artinya, pelaku dianggap memiliki posisi lebih tinggi dari korban,” jelasnya.
Sarah juga menambahkan bahwa dalam kasus perundungan, meskipun pelaku terdiri dari kelompok, biasanya terdapat satu sosok dominan sebagai pemimpin, sementara yang lain berperan sebagai pengikut atau pendukung.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa cyberbullying merupakan bentuk perundungan yang dilakukan di ruang digital, seperti media sosial, aplikasi pesan, dan platform online lainnya.
Dampak cyberbullying terhadap korban sangat kompleks, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Sarah mengatakan korban bisa merasa tertekan, tidak nyaman, hingga mengalami penurunan motivasi. Dalam jangka panjang, cyberbullying bisa menimbulkan kecemasan berlebih, bahkan depresi.