Dulu, pulang ke rumah berarti disambut pelukan, suara TV yang keras, dan bau masakan favorit dari dapur. Tapi makin ke sini, pulang sering kali terasa canggung. Rumah masih sama, tapi rasanya beda. Sepi. Sunyi. Dan kadang terasa agak asing.
Banyak anak dewasa yang kini merasa jauh, bukan secara jarak tapi secara hati dari orang tuanya sendiri. Percakapan jadi kaku, basa-basi, sekedar “udah makan?” atau “ngapain aja hari ini?” Lalu hening lagi. Padahal dulu, kitab isa ngobrol berjam-jam sambil nonton sinetron.
Baca Juga: Bukan Sekadar Aroma: Menjelajahi Dunia Parfum Pria dan Kekuatan Kesan yang Tak Terlupakan
Saat kecil kita terbiasa curhat ke orang tua. Tapi seiring waktu, entah karena trauma lama yang belum selesai, atau karena pola komunikasi yang dulu keras, kita mulai menarik diri. Kita tumbuh dewasa, tapi tumbuh dengan cara yang bikin kita jauh dari rumah.
Banyak dari kita belajar bahwa perasaan itu harus disimpan, bahwa anak baik itu nurut dan gk banyak nanya. Akhirnya, kita jadi dewasa yang canggung mengekspresikan emosi ke orang tua. Pelan-pelan, hubungan yang dulu hangat berubah jadi formal.
Di erah digital, komunikasi seharusnya lebih mudah. Tapi kenyataannya, hubungnan malah terasa makin renggang. Anak dewasa lebih sering membalas chat teman atau kolega dari pada chat dari orang tua. Bahkan kadang notif dari mama yang menanyakan kabar bisa bikin bingung sendiri, jawab sekarang atau nanti?
Menurut survei Katadata (2023), 6 dari 10 anak muda di Indonesia merasa hubungan mereka dengan orang tua kurang dekat, terutama setelah mereka mulai bekerja atau pindah ke kota lain. Kebanyakan karena beda cara pandang, pola komunikasi yang gak nyambung, atau waktu yang gak ketemu.
Yang sering dilupakan, anak yang jarang pulang bukan berarti gak sayang. Kadang justru terlalu sayang, tapi bingung cara menunjukkan. Takut salah ngomong, takut disalahpahami, takut dianggap kurang ajar. Akhirnya, diam jadi pilihan paling aman.
Buat para orang tua, mungkin perlu juga belajar bahwa anak yang tumbuh di generasi ini butuh ruang untuk cerita tanpa takut dihakimi. Kadang, yang dibutuhkan cuman telinga, bukan nasihat.
Gak ada yang terlambat. Hubungan yang renggang bisa dujahit lagi pelan-pelan. Mulai ngobrol ringan, kirim makanan kesukaan, atau sekedar bilang “ma, aku kangen”. Hubungan keluarga gak harus selalu hangat dan sempurna. Tapi kalau masih ada niat untuk saling mendekat, itu udah cukup jadi awal yang baik.
Karena sejauh ini apapun pergi, sebagian dari kita tetap berharap, rumah adalah tempat yang paling aman unruk kembali. Dan semoga, rumah itu gak cuman bangunan, tapi juga rasa. (Arsandha Agadistria Putri)