Khutbah Kedua:
الحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ، كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ
فَيَا عِبَادَ اللَّهِ، اِتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Saudara-saudara seiman,
Pada khutbah kedua ini, marilah kita teguhkan kembali niat kita untuk memanfaatkan setiap anugerah Allah, termasuk teknologi, untuk jalan kebaikan. Meskipun potensi AI sangat menjanjikan, kita tidak boleh mengabaikan tantangan dan batasan etisnya. AI hanyalah alat, ia tidak memiliki hati, akal, atau spiritualitas. Inilah yang membedakannya secara fundamental dari seorang dai.
Menyikapi Batasan dan Tantangan Etika
1. Validitas dan Ketergantungan Data: AI sangat bergantung pada data yang diberikan kepadanya. Jika data yang digunakan untuk melatih AI adalah data yang bias atau tidak valid secara syar’i, maka hasilnya pun akan bermasalah. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa setiap AI yang digunakan untuk dakwah dilatih dengan sumber-sumber yang sahih dan diverifikasi oleh para ulama yang kompeten. Kolaborasi antara ahli agama dan ahli teknologi menjadi sangat krusial.
2. Keterbatasan Sentuhan Manusia: Dakwah sejati tidak hanya soal transfer informasi, tetapi juga soal sentuhan hati, empati, dan bimbingan spiritual. Seorang dai bisa merasakan gejolak emosi jamaahnya, memberikan motivasi yang tulus, dan menjadi teladan hidup. Ini adalah aspek-aspek yang tidak dapat digantikan oleh AI. Oleh karena itu, AI harus dilihat sebagai alat bantu, bukan pengganti dai. Interaksi tatap muka, diskusi, dan bimbingan spiritual dari ulama tetap menjadi pondasi utama dalam pembinaan umat.
3. Overload Informasi dan Kecanduan Digital: Penggunaan AI yang masif dapat menyebabkan banjir informasi. Meskipun konten dakwah yang dihasilkan berkualitas, jika jumlahnya terlalu banyak, audiens bisa kewalahan dan akhirnya menjadi apatis. Penting untuk menggunakan AI secara bijak, bukan hanya untuk menyebarkan, tetapi juga untuk mengkurasi dan menyederhanakan informasi, sehingga pesan dakwah tetap efektif dan tidak kehilangan maknanya.
Menggenggam Masa Depan Dakwah: Kolaborasi yang Harmonis
Pada akhirnya, dakwah di era digital bukanlah tentang memilih antara manusia atau mesin. Ini adalah tentang bagaimana kita dapat menciptakan kolaborasi yang harmonis antara keduanya. Para ulama dan dai harus menjadi nahkoda yang mengendalikan kapal AI, memastikan arahnya sesuai dengan syariat Islam. Para ahli teknologi Muslim harus menjadi insinyur yang membangun kapal itu, memastikan ia kokoh, canggih, dan aman.
Dengan pendekatan yang hati-hati, kolaborasi yang kuat, dan pemahaman yang mendalam tentang tujuan dakwah yang sesungguhnya, kita dapat memanfaatkan kecerdasan buatan untuk menciptakan dakwah yang tidak hanya menarik, tetapi juga mendalam, akurat, dan sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Ini adalah langkah strategis untuk memastikan bahwa pesan Islam tetap hidup, relevan, dan terus menerangi hati setiap Muslim, dari generasi ke generasi, baik di dunia nyata maupun di dunia digital.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kita kekuatan dan petunjuk untuk menjadi bagian dari jihad digital ini, menyebarkan kebaikan, dan menjaga kebenaran di tengah gempuran informasi yang tak terkendali.
Doa Penutup