nasional

Presiden ke Jawa Pos

Minggu, 3 Februari 2019 | 11:37 WIB

SURABAYA - Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) seharian kemarin (2/2) menggelar sejumlah agenda di Surabaya. Salah satunya, dia berkunjung ke redaksi Jawa Pos di gedung Graha Pena. Dalam kunjungannya, Jokowi bersama ibu negara Iriana Joko Widodo, didampingi Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Gubernur Jatim Soekarwo bersama sang istri Nina Soekarwo, serta sejumlah pejabat lain.

Rombongan presiden diterima dan beraudiensi oleh jajaran komisaris, direksi, dan awak redaksi Jawa Pos yang dipimpin Dirut Leak Kustiyo serta Pemimpin Redaksi Abdul Rokhim. Dalam audiensi tersebut, Jokowi bersama seluruh pimpinan-awak redaksi Jawa Pos membahas berbagai isu aktual. Salah satunya makin maraknya berita palsu alias hoaks yang beredar di masyarakat.

Mantan wali kota Solo itu menyebut, berita-berita palsu tersebut banyak muncul karena hal-hal yang bersifat politis. Mulai pilkada (baik bupati/wali kota maupun gubernur) hingga pilpres. ”Dan ini sangat masif, terutama di media sosial (medsos),” katanya.

Dia juga menyebut maraknya hoaks sebenarnya adalah bagian dari teori propaganda yang digunakan di sejumlah negara. ”Kalau ndak benar, minta maaf. Besok diulangi lagi, minta maaf lagi,” katanya.

Maraknya isu hoaks tidak lepas dari fenomena politik viral yang terjadi di negeri ini. ”Sebenarnya (politik viral, Red) tidak apa-apa. Tapi, dengan cara yang beretika. Karena kita memiliki budi pekerti yang harus dijunjung,” katanya.

Selain itu, sebenarnya, fenomena hoaks juga terjadi di banyak negara. Namun, dibanding negara-negara lain, fenomena yang terjadi di Indonesia lebih “kejam”. ”Banyak kepala negara mengeluh soal media sosial. Setelah mereka bercerita, saya bilang bahwa itu biasa. Karena di sini lebih kejam,” katanya.

Di satu sisi, Jokowi menyebut makin maraknya hoaks sebenarnya bisa jadi bagian dari pembelajaran publik agar makin cerdas dalam memilah informasi. Namun, mantan gubernur DKI itu berharap cara-cara seperti ini bisa segera diakhiri.

Karena itu, saat ini media mindstream punya peran penting dalam memberantas hoaks. Dia juga mengapresi langkah Jawa Pos yang kini memiliki rubrik khusus bertajuk Hoax Apa Bukan. ”Namun, media sering membuntuti hal-hal yang viral. Meski kadang tak baik. Akhirnya pembuat hoaks makin senang bikin yang aneh-aneh,” katanya.

Dalam audiensi tersebut, isu lain yang juga jadi bahasan adalah soal kelanjutan pembangunan infrastruktur jalan tol. Salah satunya tol Trans Jawa. Dia menarget tol ini sudah tersambung pada 2020.

Dia menyebut, target itu bisa tercapai karena “kunci-kunci” yang jadi penyebab macetnya pembangunan tol sudah diketahui. Yakni soal pembebasan lahan. Karena itu, pemerintah mendirikan LMAN (Lembaga Manajemen Aset Negara).

Demikian juga dengan kerap rumitnya masalah penggunaan lahan milik institusi pemerintah untuk kepentingan umum. Hal itu juga bisa diatasi. Dia mencontohkan pembebasan lahan tol Samarinda-Balikpapan. ”Setelah tahu, dua minggu rampung Karena sudah ada payung hukumnya,” katanya.

Karena itu pula, pembangunan tol di Indonesia mengalami percepatan. Jika sejak 1978 hingga 2014 panjang tol baru 780 km, selama empat tahun terakhir, pemerintah telah menyelesaikan pembangunan tol sepanjang 782 km. ”Nanti, sampai 2019, akan ada tambahan dengan total 1.854 km,” katanya.

Meski demikian, pembangunan infrastruktur, terutama pembangunan tol di Indonesia, mengalami percepatan, Jokowi meminta tidak berpuas diri. Sebab, jika dibanding negara lain, penambahan infrastruktur di negeri ini masih jauh. ”Seperti di Tiongkok, di sana panjang tolnya sudah lebih dari 200 ribu km,” katanya.

Jokowi juga berbicara soal pro-kontra di balik gencarnya pembangunan infrastruktur. Dia mengatakan, kebijakan itu adalah murni keputusan politik. Dia mencontohkan proyek MRT di Jakarta. Jika hanya berhitung untung rugi, proyek ini tak akan berlangsung. ”Orang tidak tahu, karena Jakarta macet Rp 100 triliun hilang,” katanya.

Demikian juga dengan penambahan jalan tol. Pemerintah memberikan alternatif bagi publik. Sebab, jika tetap menggantungkan pada jalan-jalan arteri, yang terjadi adalah kemacetan. ”Dulu, Solo-Semarang hanya 1,5 jam. Tahun 2010 jadi 3,5 jam. Jika tidak ada solusi, bisa-bisa waktu tempuhnya 6 jam,” katanya.

Halaman:

Terkini