Sementara itu, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Dirjen Diktiristek) Kemendikbudristek Abdul Haris mengungkapkan, aturan mengenai UKT ada pada Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024. PTN dapat menetapkan beberapa kelompok UKT, dengan ketentuan paling tinggi sama dengan besaran BKT/semester. ”Permendikbud 2 tahun 2024 mengatur secara jelas bahwa besaran UKT kelompok I sebesar Rp 500.000 dan kelompok II sebesar Rp 1.000.000,” ungkapnya.
Diwawancarai terpisah, anggota Komisi X DPR Ledia Hanifa Amaliah menyampaikan keprihatinannya terhadap aksi protes yang berulang terkait mahalnya biaya pendidikan tinggi di PTN. Menurut dia, mahalnya biaya pendidikan tinggi itu bertolak belakang dengan target pemerintah dalam meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi. Hingga kini APK masih rendah.
Menurut data 2023, APK untuk laki-laki hanya 29,12 persen dan untuk perempuan 33,87 persen. Angka yang jauh dari target yang diharapkan. ”Dengan mahalnya perguruan tinggi negeri ini, bagaimana mungkin kita bisa mencapai target APK yang lebih baik jika banyak anak-anak kita yang tidak mampu melanjutkan pendidikan karena biaya?” keluhnya.
Dia menilai, sistem UKT yang berlaku di banyak perguruan tinggi masih memberatkan bagi sebagian besar calon mahasiswa. Karena itu, dia meminta adanya diskusi serius antara pemerintah dan perguruan tinggi untuk menata ulang sistem pendanaan pendidikan tinggi di Indonesia. ”Kita perlu membuat sistem yang lebih baik, yang lebih mendukung anak-anak kita untuk bisa kuliah tanpa dibebani biaya yang tidak mampu mereka tanggung,” tegasnya.
Senada, anggota Komisi X DPR Andreas Hugo Pareira meminta Kemdikbudristek segera turun tangan terkait kenaikan UKT yang tak terkontrol. Menurutnya, perguruan tinggi makin ugal-ugalan dalam menentukan UKT-nya. ”Perguruan tinggi negeri yang berstatus sebagai badan hukum (PTN-BH) dan badan layanan umum (PTN-BLU) memang memiliki otoritas dalam menetapkan tarif, tetapi otoritas tersebut tidak boleh digunakan untuk semena-mena menaikkan biaya pendidikan,” keluhnya.
Andreas mengungkapkan, kurangnya standardisasi nasional dalam penentuan UKT memungkinkan perguruan tinggi menginterpretasikan kebutuhan mereka sendiri. Hal itu yang sering berujung pada peningkatan biaya yang signifikan. ”Soal UKT ini juga perlu ada intervensi dari Kemendikbudristek untuk memperhatikan, sehingga perguruan tinggi itu tidak seenak-enaknya, sesukanya menaikkan biaya UKT itu sendiri,” tegasnya. (mia/JPG/rom/k16)