PROKAL.CO, SAMARINDA — Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris (UINSI) Samarinda tengah diterpa isu serius terkait dugaan pelecehan seksual yang menyeret seorang mahasiswa berinisial F. Laporan ini viral di media sosial dan mendorong kampus mengaktifkan langkah darurat melalui Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS).
Kasus mencuat setelah akun Instagram @mia*** mempublikasikan sejumlah testimoni mahasiswi dari Samarinda, Tenggarong, hingga Jakarta yang mengaku menjadi korban tindakan tidak pantas dari F. Unggahan tersebut mendapat respons luas dari publik kampus dan masyarakat, sehingga menuntut penanganan cepat dari pihak universitas.
Salah satu kesaksian datang dari mahasiswi berinisial Ff (20). Ff mengaku mengenal F melalui organisasi duta kampus, bukan dalam hubungan personal. Namun dalam sebuah kegiatan kampus Expo Fasya 2024, FF mengklaim dirinya berkali-kali menerima kontak fisik tanpa persetujuan.
“Dia menarik tubuh saya, mencoba mendekatkan wajahnya paksa. Dia juga mencoba mencium saya. Saya dipermalukan di depan orang banyak,” kata FF.
FF mengaku semakin tertekan setelah melaporkan kejadian ke pembina organisasi namun justru merasa disudutkan. Kondisi itu memicunya berbicara di media sosial. Setelah kesaksiannya muncul, mahasiswi lain dari luar Samarinda ikut bersuara dengan pola pengalaman serupa, mulai dari pelecehan verbal hingga fisik.
Ketua Satgas PPKS UINSI, Diajeng Laily, menegaskan timnya bergerak cepat sejak unggahan viral tersebut tersebar. “Sudah ada korban yang kami temui. Saat ini kami sedang mengumpulkan bukti. Kerahasiaan identitas korban sangat kami jaga,” ujarnya.
Diajeng mengungkapkan, laporan terkait kasus ini bukan berasal dari kanal pelaporan resmi, melainkan hasil penelusuran satgas. Banyak korban disebut takut membuat laporan formal karena relasi kuasa dan tekanan sosial di organisasi kampus. Satgas juga menjalin kerja sama dengan UPTD PPA Kota Samarinda untuk memastikan korban tetap mendapatkan pendampingan hukum dan psikososial bila sewaktu-waktu ada gugatan balik dari terlapor.
“Jika pelaku menyiapkan kuasa hukum, pendampingan korban tetap berjalan. Tidak ada hak korban yang hilang,” tegasnya. Kasus ini memicu desakan agar kampus transparan dalam penyelidikan. Aktivis mahasiswa menilai kasus pelecehan seksual di lingkungan akademik cenderung ditangani secara tertutup sehingga memunculkan persepsi kampus “tidak tegas”.
Menanggapi ini, Diajeng mengatakan kampus UINSI telah rutin melakukan edukasi anti-kekerasan seksual melalui program PBAK dan sosialisasi ke kelas selama dua tahun terakhir. Kampus juga membentuk Pusat Pembinaan Laku Karimah untuk memperkuat etika dan akhlak mahasiswa.
Sampai berita ini diturunkan, terduga pelaku masih berstatus mahasiswa aktif dan belum menerima sanksi administratif apa pun. Penyelidikan internal kampus masih berlangsung, sementara tekanan publik agar penanganan dilakukan secara transparan terus membesar. (*)