balikpapan

Kilas Balik Pernikahan Mubarakah Ponpes Hidayatullah 11 Tahun Lalu; Lima Hari Tanpa Malam Pertama

Rabu, 30 Oktober 2024 | 14:45 WIB
FOTO TERKINI: Masjid Nurul Mukhlisin, Hidayatullah, GunungTembak, lokasi pernikahan mubarak khusus pengantin dan tamu undangan putri. (DOKUMENTASI PONPES HIDAYATULLAH)

Taaruf adalah tahapan untuk mengikuti nikah mubarakah. Pada proses ini, calon mempelai dikorek pengetahuan agama mereka dan sejauh mana mengenal Hidayatullah. Ini adalah proses memperkenalkan diri dan membeber motivasi mengikuti nikah mubarakah.

“Saat itu (proses taaruf), santri juga ditanya harapan dalam nikah mubarakah ini apa? Ingin mendapatkan istri yang bagaimana?” kata Ghofur, tersenyum.

*

Ghofur datang ke Balikpapan pada 2002. Tahun itu, dia baru lulus dari S-1, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Luqman Al-Hakim, Surabaya, Jawa Timur. Setelah mondok saat mahasiswa, anak pasangan Tro Tinah-Malem (keduanya almarhum), memilih Balikpapan sebagai tujuan.

Itu juga karena Hidayatullah berkantor pusat di kota ini. Masa itu, dia datang dengan kondisi yang sangat sederhana. Tinggal di asrama, kembali berada jauh dari orangtua.

Kali ini jaraknya bertambah. Harus menyeberang pulau. Apalagi dia tak punya alat komunikasi seperti handphone.

“Jadi komunikasi dengan orangtua hanya pakai telepon di wartel (warung telekomunikasi),” tuturnya. Komunikasi yang terbatas itu sempat membuat orangtua dan keluarganya bingung ketika Ghofur mengutarakan niat ingin menikah. 

Apalagi, saat itu Ghofur tak bisa menjelaskan seperti apa calon istrinya kepada keluarga. “Orangtua saya dulu sempat bikin bimbang juga. Orangtua bilang, mau menikah kok enggak tahu sama siapa,” lanjutnya, menirukan perkataan ibunya.

Selain itu, di kepala Ghofur diganggu lagi dengan pikiran-pikiran lain. “Apa mau ya nanti istri saya menerima saya,” katanya.

Baca Juga: Kilas Balik Pernikahan Mubarakah Ponpes Hidayatullah 11 Tahun Lalu; Baru Tahu Wajah Istri Setelah Akad Nikah

Di dalam hatinya, Ghofur memang punya pemikiran untuk menikah dengan sesama santri. Walau saat masih kuliah ada seorang gadis yang membuka hatinya untuk Ghofur.

“Dulu ada sih yang mau sama saya. Ya, sampai minta suruh orangtua saya datang ke rumahnya. Itu waktu di Surabaya, dia teman SMA saya. Tapi dia bukan santri, cuma bapaknya guru mengaji. Saya memang ingin menikah dengan sesama santri,” katanya. 

Sebelum memilih ikut menikah massal, Ghofur memang sudah beberapa kali melihat senior-seniornya mengikuti prosesi ini.

Ada ketertarikan darinya untuk ikut jadi peserta. Yang membuat keinginan semakin besar adalah dorongan  ustaz-ustaznya yang ikut jadi “kompor”. 

“Yang saya ingat, ustaz saya dulu pernah bilang, apa lagi yang ditunggu. Nanti antum jadi bujang lapuk, lho,” katanya, meniru ucapan salah satu gurunya. 

Halaman:

Tags

Terkini