Ketika masih sekolah, Ghofur sama sekali tak pernah pacaran. Walaupun saat itu dia belum santri. Masih mengenyam pendidikan di sekolah umum. SMP 1 dan SMA 3, keduanya di Nganjuk.
Baginya, pacaran risikonya besar. Makanya, dia tak pernah berduaan dengan perempuan untuk sekadar nonton di bioskop atau makan bareng.
“Lagi pula saya ini memang pubernya terlambat. Walaupun ada rasa suka sama cewek, tapi saya enggak pernah berani mengungkapkan. Di sekolah dulu saya selalu juara, makanya ada saja cewek yang suka,” tuturnya, tertawa. Cuma sekadar suka ala siswa SMA. Kirim-kirim salam, tak pernah lebih.
Tak ada syarat ekonomi yang dijadikan pertimbangan bagi calon peserta nikah massal yang pada 2007 berganti nama menjadi nikah mubarakah. Ini karena sebutan nikah massal sudah banyak digunakan instansi pemerintah dan lembaga nonpemerintah. Salah satunya Dinas Sosial.
Saat menikah Ghofur tak punya modal. Dia sarjana yang menjadi guru di pesantren. Gajinya masih belum seberapa. Awal mengajar pada 2002, penghasilannya Rp 350 ribu per bulan.
Sebelum menikah pun, dia hanya bisa menumpang kapal laut saat pulang kampung ke Surabaya jika rindu orangtua. Menelepon keluarga via wartel pun hanya sesekali.
Saat mertua datang pada acara pernikahannya di Balikpapan, Ghofur ingin sekadar memberi mereka sangu atau membelikan tiket kembali ke Jawa Tengah. Namun duit masih pas-pasan.
“Pas mau kasih uang ke mertua, terus lihat rekening tabungan ternyata cuma Rp 350 ribu. Istri saya (Saryati) bilang, emang cukup mau kasih ibu? Uangnya cuma segitu,” kata Ghofur mengenang.
Namun, setelah dia menikah, merajut rumah tangga, perekonomian keluarga membaik. “Dari mana datangnya rezeki, ya, enggak tahu juga bagaimana. Enggak ada rumusnya. Eh, setelah punya keluarga saya malah bisa naik pesawat lho kalau pulang ke Surabaya,” tuturnya.
Soal rezeki ada saja jalannya. Apalagi, pihak ponpes juga membuka banyak peluang pekerjaan bagi santri-santrinya yang sudah berkeluarga.
Ghofur sedianya sudah punya empat anak. Namun, anak pertamanya Fathul Bariyyah dan anak ketiga A Furqon Al-Faqih meninggal saat masih bayi. “Istri saya memang tak bisa selalu hamil, karena dia ada semacam penyakit gen yang berpengaruh saat mengandung,” katanya.
Sebelum menikah, Ghofur dan Saryati sama sekali belum pernah bertemu. Boro-boro menatap wajah, lihat foto pun tak pernah. Maka itu, tak heran, sebagai manusia, beberapa jam sebelum ijab kabul, bimbang sempat menerpa ayah dari Ahmad Yasin Al-Faqih dan Faiqon Putri An-Najah ini.
“Memang agak susah dinalar, waktu itu yang penting saya menyerahkan diri saja kepada Allah. Karena jodoh kita sudah ada di Lauhul Mahfuz (tempat Allah menuliskan seluruh catatan kejadian di alam semesta), jadi enggak bakal tertukar,” kata guru fikih (hukum Islam) di Ponpes Hidayatullah ini, tertawa kecil.
Saat menikah, dia menjadi salah satu dari lima mempelai yang berkesempatan mendatangi duluan calon istri. Tapi itupun setelah proses ijab kabul.